Minggu, 16 Februari 2014

TANAMAN itu dari TUHAN



Ia berbunga begitu saja, berputik, berkelopak, berdaun dan bahkan akarnyapun tumbuh dan menjalar begitu saja. Tak ada yang sengaja ingin menanamnya, termasuk pemiliknya sendiri. Tak ada pupuk khusus yang sengaja di sediakan untuknya termasuk pemiliknya sendiri. Ia tumbuh dan kemudian melilitkan batangnya nya serta mengundang kupu kupu sekitar kampung untuk datang bertamu setiap harinya. Mereka juga datang  dengan sendirinya.  Ya, memang begitu saja, betul, begitu saja.
Saya sendiri sebagai pemiliknya tak tau kenapa ia hadir lebih indah dari yang lain. saya tak pernah menyiraminya, memintanya, bahkan melakukan ritual khusus untuknya seperti tanaman lain di hati saya. Sungguh sekali lagi saya katakan ia adalah kembang dewa yang senantiasa menggurai senyum di mata saya saat memandangi dan merasakan nya.
“sungguh tanaman yang aneh”  begitu yang pernah saya katakan kepada orang orang yang ikut bertanya tentang keberadaanya di hati saya. 
“kok, bisa bisanya ia tumbuh dengan percaya dirinya disini?” sayapun ikut bertanya dan terheran heran saat mengingat awal kehidupanya.
“benar benar tanaman  kurang ajar” begitu saya  mengumpatinya saat merasa saya mulai terpikat dan terpikat oleh kepercayaan dirinya.  Bisa bisanya dia menguasai saya dan mengalihkan semua perhatian saya untuk menjadi miliknya seutuhnya.
“dan bener bener tanaman yang terlalu indah” saya sampai menggeleng gelengkan kepala mengingatnya.
Harus saya akui dan benar begitu adanya, tak bisa saya ingkari, mungkin seluruh akal pikiran saya akan melontarkan protes bila tak mengakui keindahan nya. Mungkin inilah tanaman tuhan yang tercecerkan oleh malaikat saat akan membopong benih benih nya dari surga. Barangkali saat malaikat terbang sambil menyandang karung goni benih tanaman ini, burung burung liar yang terbang di angkasa mematoki salah satu sudut karung goni itu. Kemudian tanpa di ketahui sang malaikat yang tengah sibuk membaca peta lokasi penempatan benih  tersebut,  salah satu benih dalam karung malaikat itu jatuh di hati saya. Barangkali juga saat itu hati saya tengah gembur-gemburnya habis di sirami hujan semalaman, sehingga begitu benih tanaman tuhan ini menyentuh tanah  hati , ia lansung tumbuh begitu saja lantas berbunga.
“memang tanaman yang ajaib, ck, ck,.” baru kali ini saya melihat tanaman yang seindah ini, sebebal ini, dan sesubur ini. walau menimpa tanaman lain di kebun hati, ia tak pernah mau jadi parasit.
Sekalipun hanya berupa tanaman, ia seperti ikut memiliki sifat tuhan dalam keindahanya. Hadir dan tumbuhnya di sela sela perdu kebun hati yang penuh semak belukar itu tiba tiba saja menarik semua kupu kupu sekitar kampung untuk mendekat, hadirnyapun tak bermaksud mengalahkan perdu lain di kebun itu, malah perdupun tumbuh dengan baik. Entah apa yang di cari kupu-kupu itu padahal hanya ada perdu di kebun hati dan satu satunya bunga ya tanaman itulah. sampai  saat inipun saya masih menyimpan heran memikirnya.
kadang, sambil melongo kejendela dari dalam kamar, saya tersenyum sendiri membayangkanya
“ini anugerah atau ujiankah ?” ungkap hati saya saat menimbang nimbang, alasan tuhan menumbuhkan tanaman ini di kebun hati saya.
“ah, sudahlah, yang penting saat itu saya hanya mencoba menikmatinya dan merawatnya, walau kerap kali pikiran saya mempertanyakan, “bagaimana bisa?”.
Hari ini saya gelar hari berkabung di rumah,  saya suruh semua anggota rumah dan setiap insan di rumah mengenakan baju hitam hitam tanda berkabung, saya turunkan bendera depan rumah sampai setengah tiang pertanda kami serumah sedang berduka. Sempat pula saya pasang dua bendera kuning di pinggir jalan depan pekarangan rumah kami agar pengguna jalan tahu bahwa hati saya tengah kehilangan salah seorang, ah, bukan ,maksud saya kehilangan tanaman tersayangya.
tak ada maksud saya dan keluarga untuk membesar besarkan berita ini, walau hanya sekedar tanaman, tapi saya sangat merasa kehilangan. sungguh, saya tak bermaksud mengada ngada dengan perasaan kami, terutama perasaan duka saya sendiri. Saya dan seluruh keluarga mohon maaf atas sikap kami yang terkesan mengagung agungkan bunga di kebun hati tersebut. Sungguh, sedih ini pun hadir dengan sendirinya, anggap saja saya terlalu cinta dengan keindahan tanaman tuhan yang sempat tumbuh di kebun hati beberapa waktu itu. Dan sikap berkabung ini hanyalah bentuk penghormatan saya yang terakhir yang bisa saya lakukan untuk mengatar kepergian tanaman tuhan itu dengan sebaik-baiknya. Selayaknya manusia yang kehilangan sanak keluarga, kamipun mohon ijin memperlakukan tanaman tuhan yang pernah menghiasi rumah saya  semasa hidupnya dengan baik, mencoba mengikhlaskan, seikhlas ikhlasnya untuk kembali ke taqdir tuhan. Mungkin memang beginilah jalannya dan akhir kisahnya. Saya hanya bisa pasrah dan mencoba tabah. Apa boleh dikata nasib kami tak bisa bersama berlama-lama.
Semoga dengan ini, tuhan kembali berkenan meng-anugerahkan kepada saya,  pengganti tanaman itu, yang terindah dan mengindahkan cerita saya bersamanya, yang tumbuh dan berkembang begitu saja, yang selalu mengurai senyum kala mata memandanginya. tanaman terindah yang kalo bisa datangnya juga tak perlu disengaja, ia berbunga begitu saja, berkelopak, berdaun dan bahkan akarnya mengakar begitu saja pula, tak ada pupuk khusus yang pernah disediakan pemiliknya untuknya, bahkan tak ada ritual khusus yang di lakukan untuk nya, ya benar, kalo bisa datanganya nanti, ya datang dengan sendirinya. Menghadirkan semarak dan mengundang kupu kupu kekebun  hati  tanpa di sengaja.
Saat ini saya ingin kembali melanjutkan perjalanan saya, masih banyak tempat yang belum sempat saya kunjungi sebelumnya, banyak pula pagelaran pagelaran waktu yang belum sempat saya hadiri. Baiklah, saya putuskan untuk melanjutkan kelana saya.
Hingga saatnya tiba nanti atau saat kaki saya terasa amat lelah untuk melangkah sendiri, akan saya bawa duduk sejenak sambil menyandarkan tubuh di bawah rindang beringin sambil membuka gambar dan semua kenangan bersama tanaman itu. nanti setelah saya lelah melangkah, tanaman itu akan jadi penghapus penat penat di kaki dan otot rasa. ya, nanti saja kalo saya sudah benar benar lelah, saat ini biarlah ia kembali melanjutkan perjanannya pula, slamat jalan untuknya, sampai betemu di taqdir lain, bila tuhan masih bekehendak, malaikat akan kembali menyemainya di kebunhati, ya semoga saja.


Senin, 10 Februari 2014

PURNAMA DI TAMPUK NOVEMBER

PURNAMA DI TAMPUK NOVEMBER

Naila, Mata gadis itu bolak balik menangkap citra bayangan yang mungkin akan muncul di ujung jalan depan rumahnya. Sudah sejak lama Naila memperhatikan jalan itu, saban sore saat akan mengaji, setelah menyelesaikan semua pekerjaan rumahnya ia menyandang sebuah kitab suci dan satu selendang bermotif bunga yang warna serta bahannya sudah hampir berubah warna agak ke abu abuan.  Naila benar benar tampak serius dengan aktifitasnya itu, seserius ia mengurusi tetek bengek rumah dan pekerjaan rumah tangga yang tak kunjung kunjung selesai. Awal subuh bahkan sebelum ayam jantan kampung  Hilir berkokok, Naila sudah menggasak tungku dengan perapian dan menjarang periuk nasi serta memasak air panas untuk sarapan pagi orang serumah. Memang begitulah Naila, semakin gadis semakin banyak pula tuntutan untuknya, mulai dari tuntutan mengalah untuk adik adiknya, tuntutan mengurus rumah, sampai tuntutan menikah.
“Hm, Nai” sela ibu Naila sembari memasukan kayu kayu bakar yang mulai berserakan kedalam tungku perapian.
 “ Seingat amak,  umur mu sudahlah masuk 25, sudah gadisnya kau sekarang, agaknya sudah pantas pula kamu mengurusi rumah mu sendiri” sambung amak, melawan kukukan ayam yang sahut menyahut membuka pagi dari tengah dapur.
“Menikah, maksud amak?” Naila memastikan maksud perkataan amak barusan kepada nya.
“iyo, tentulah manikah yang amak maksud, bukan kah sudah cukup umurmu untuk itu. Amak hanya nak mengingatkan sajo, kalau kau setuju amak punyo calon nan cocok untuk mu”
Amak Naila sepertinya tidak kalah serius menggapi pertanyaan anaknya itu, sehingga percakapan pagi di depan perapian itupun terasa sangat hangat.
Naila hanya diam, tak lagi ia sambung kata kata amaknya, kemudian tanpa kata kata ia lanjutkan cucian beras yang tadi sempat terhenti saat mendengar penjelasan amak, air mukanya kini berganti murung, ia hela nafas dalam-dalam seperti ada sesuatu yang mengganjal saluran nafasnya.
***
Langit di ujung rumah gadang, sudah memerah jingga, ayam ayam kampung di kandang bawah rumah panggung itu mulai berbaris mencari pintu masuk dan berkokok mengisi irama alam. Naila mengambil selendangnya dan menenteng kitab suci menuju surau tempat ia biasa mengaji  berkawan kawan.
Purnama di langit senja semakin lama semakin benderang diisi  cahaya matahari yang mulai undur perlahan.  Jalanan menuju surau tiba tiba dipenuhi remaja yang hendak pergi mengaji, riuh anak anak mengaji bersorak sorai tedengar memekakan telinga, berlari- larian, kejar kejaran dengan sepeda sambil menenteng buku mengaji, selendang serta sarung mereka.  Naila berjalan sendiri, jalanya santai, ia angkat kainya hingga di atas mata kaki  agar langkahnya bisa lebih terbuka.
Hingga beberapa langkah melewati rumah pak Datuk, tiba tiba saja langkahnya terhenti, kemudian nailapun menoleh kebelakang, terbayang dari rumah itu keluar seorang laki laki pujaanya, Arif. Laki laki yang sudah pergi beberapa lama. laki laki yang hanya meninggalkan janji, tanpa sajak-sajak, tanpa kabar apa- apa. Hingga purnama berganti sabit. Naila masih percaya bahwa Arif akan menepati janjinya.
Janji itupulalah yang menutup pintu hati Naila untuk terbuka pada calon manapun yang coba di kenalkan Amak dan  Abak  untuknya. Mungkin itu pula yang membuat ia hanya diam tak berkata apa apa saat amak kembali membuka wacana nak mengenalkan Naila dengan anak “Ma’jo Sabri” yang kata amak sudah mapan dan memiliki toko di Jakarta.
***
ujung jalan itu, kembali sepi sepulang anak- anak mengaji, saat ini Naila berjalan agak perlahan, sesekali ia angkat sarungnya setinggi mata kaki dan ia percepat langkahnya menuju pulang, sebelum matahari benar benar bersembunyi bertudung gelap.  Jalanan itu memang terasa amat sepi di hati naila,
 “ benar benar tega uda Arif” bisik nya.
 jalan yang sepi itu membawa Naila pada pikiran tentang janji janji Arif yang hampir lusuh, seperti lusuhnya selendang bermotif bunga yang ia sandang saban sore.
“huf, apa yang harus ku lakukan? kalau besok amak menanyakan lagi tentang anak ma’Jo sabri yang di Jakarta itu”
“ apa yang bisa kukatakan pada amak? dan dimana arif saat ini?” Naila semakin termakan lamunan.
Sesekali ia angkat lagi kain sarungnya semata kaki dan ia percepat langkahnya menuju pulang tapi beberapa saat kemudian kembali masuk dalam lamunan.
“apa mungkin, uda sudah lupa akan janjinya?, kenapa sampai sekarang tak satupun kabar yang ia kirimkan, sebegitu sibukah uda disana?.” Naila semakin cemas memikirkan perkara  janji Arif kepadanya serta perkaran lamaran keluarga ma’jo sabri untuknya, ditambah harapan amak yang inginkan bertali dengan keluarga mereka.
“ah, sudahlah, mungkin baiknya kulupakan saja dia, bukan salahku bila semua janji dulu tak bisa ku tepati, bukan salahku bila tak menunggunya, toh, dia juga sudah tak ingat dengan itu” .Naila, mencoba meluruskan sekelumit pikiran nya tentang Arif.
“tapi, bagaimana kalau uda nanti datang?”
Pikiran nya seperti tengah membolak balik kebimbangan. Bukan tak sabar menunggu, memang benar Arif meminta Naila menanti hingga purnama kesebelas tepat di pertengahan November, tapi layaknya orang yang tengah menanam kata-kata, bukankah semestinya ada kabar tentang itu? bahkan sampai saat ini naila sendiri tak tau apakah Arif masih akan menepati janjinya atau tidak. Janji janji itu seperti jimat buat Naila, agaknya hanya itu yang bisa ia pegang, karena sampai sekarang sudah purnama ke kesepuluh,  belum juga ada kabar dari udanya.
Hari terus berganti dan berkejar kejaran dengan malam memutar waktu. Saban sore Naila menoleh ke luar rumah, matanya menerawang ke ujung jalan seolah ada yang tengah ia tunggu, sepertinya Naila membayangkan uda Arif akan datang dengan tak disangka-sangka dan menepati janjinya, atau setidak tidaknya tukang pos yang  membawakan kabar dari Arif untuk nya.
 “Mak, memangnya anaknya ma’sobri nan di Jakarta itu sudah pulang?” entah apa yang membawa Naila tiba-tiba menanyakan itu kepada amaknya.
“si rifa’i?” sahut amak memastikan.
“hah, tumben betul kau menanyakan anaknya ma’sobri?, setahu amak, sudah 1 minggu dia di rumah, minggu depan ia nak balik ke Jakarta, katanya tak enak juga meninggalkan usahanya yang ada dijakarta”. sahut amak menambahkan penjelasnya.
“memang apa kata ma’sobri ke amak?, apa uda rifa’i itu sudah kenal saya?”.  Naila mencoba menelisik tentang calon dari amaknya, separo berharap keajaiban akan datang, Arif hadir memberi kabar kepadanya.
“rifa’i itu sepangkatan sama sama kakak Ita mu, ia teman dekat kak ita dulu, tentu ia sudah mengenalmu.”
“agaknya tiga tahun lebih tua  dari mu, Sudah bekerja pula, apalagi yang nak ditunggu, kaupun sudah dewasa, dia yang datang kerumah kita nak meminangmu”  lanjut amak menjelaskan.
“minggu depan dia akan balik kejakarta, mengurusi kerjaanya”
“ kalau bisa dia sudah mendapatkan jawaban akan maksud baiknya itu “
“nah sekarang apa yang tengah kau pikirkan? kalau kau tak punya orang yang kau tunggu terimalah Rifa’i, amak rasa bukan orang sembarang pula keluarga mereka”
Amak memang tak pernah memaksa Naila untuk menerima Rifa’i, walau amak berharap bisa berbesanan dengan keluarga rifa’i. sebenarnya berat hati naila untuk mengecewakan amak bila tak menerima pilihan dari amaknya. Apalagi semenjak tak ada kabar dari Arif, ia merasa tak punya alasan untuk menyebut Arif sebagai pilihannya. sudah barang tentu amak dan keluarga naila tak bisa menerima janji- janji tak bertuan seperti itu. 
Tapi jauh di ujung hati kecilnya ia masih yakin Arif akan datang, entah purnama keberapa. lagi-lagi ia kembali diam, ingatan serta bisikan keyakinan akan janji tulus Arif membayang seketika di batin nya, tak kuasa ia tinggalkan Arif, apalagi menerima taqdir untuk dinikahkan dengan orang lain. Tak tebayang pula bagaimana jadinya nanti bila ia menerima tawaran amak, untuk menikah dengan rifa’i.  Tentu tidak hanya Arif yang dibuat merajam asa olehnya, nailapun belum tentu mampu berbilang bahagia dengan pilihan amak tersebut.
Azan ashar telah berkumandang, langit di ujung rumah gadang mulai meredupkan cahayanya, Naila kembali beranjak ke surau menggendong kitab suci dan menarik selendang bermotif bunga nan lusuh itu kekepala.  kali ini jalanan menuju surau sudah dipenuhi anak anak mengaji berpacu dengan sepeda mereka, Naila berjalan santai memegangi kitab suci di tangan kanannya, ia angkat kainnya hingga di atas mata kaki dan ia percepat langkahnya. di ujung jalan ia kembali menoleh seakan dari sana akan datang Arif dengan tak disangka-sangka.  Walau yakin akan janji Arif, sampai saat ini belum juga ada kabar untuk Naila darinya, bahkan hingga sore ini saat punama telah  hampir sampai di tampuk November, Naila masih saja menoleh ke ujung jalan sana, mendekap harap, serta mencoba bertahan dengan diam saat amak kembali menanyakan perihal lamaran untuknya, tentu tak akan selamanya amak bisa menunggu. Akan tetapi naila selalu mencoba bertahan walau tak tau akan sampai kapan bersikap begitu, Naila terus menunggu arif dengan dan harapanya dan entah hingga purnama ke berapa, yang jelas baginya janji tetaplah janji, sampai purnama benar benar tumbuh di tampuk November, naila akan terus setia pada arif dan kata-katanya.



Minggu, 02 Februari 2014

Nawangsari dan Lelaki Malaikatnya




Nawangsari memang bukan anak anak lagi, ia sekarang sudah dewasa, tubuh dan beberapa bagian tubuhnya sudah mulai berbentuk dan membentuk.  Membentuk lekukan dan terlihat sangat indah, apalagi saat lekukan tubuh itu bergerak mengiringi gamelan jawa tiap kali Nawangsari manggung dari kampung kekampung memenuhi undangan hajatan orang kampung yang ingin menikahkan anak mereka atau  acara apapun yang ingin mereka adakan. Di balik wajahnya nan sederhana yang tersirat dalam setiap sikap dan kehidupan nya, Nawangsari tampak begitu menawan terutama di mata Tarjo, lelaki yang telah sejak kecil bersama mengiringi Nawangsari. Memang sudah bukan rahasia umum lagi Tarjo menyimpan rasa untuk nawang dan berharap bisa memiliki keindahan lekukan tubuh Nawang dalam pelukan nya. Entah apa yang ditunggu Nawang, sampai usia sedewasa ini, ia masih saja membiarkan Tarjo dengan harapnya dan berpura pura tidak merasakan apa apa.
***
Hingga malam ini, Nawang sudah di anggap semakin aneh, sepertinya orang kampung memiliki prasangka yang lebih tinggi dari itu, “hmmm” lebih tepatnya mereka menyimpan penilaian bahwa Nawangsari hampir gila. Hampir disetiap malam, saat maghrib sudah sangat menua, Nawang beranjak  kepuncak bukit pengharapan dan menunggu disana sambil melipat tangan nya ke atas kepala seperti orang yang tengah memuja sang dewa. Nawang memejamkan matanya dan menghembuskan asap kemenyan dalam setiap lirih doa yang ia bisikan. Mula ritual itu seperti hedak memanggil roh nenek moyang, tapi sepertinya juga bukan. Pernah sekali Tarjo mengikuti Nawang ke bukit pengaharapan, sambil mengendap endap di belakang Nawang, Tarjo berjalan pelan dan menyusup di sela sela perdu mengiri Nawang mendaki bukit hingga sampai di sebuah gubuk kecil tepat di tepi sawah ladang mereka yang curam. setelah malam hampir larut, di pondok itu mengepul asap dari api unggun yang dibuat Nawang dalam pertapaan nya, asap itu becampur dengan asap kemenyan, dan menjelang subuh tiba, cahaya kayu bakar itu berganti putih, dan terdengarlah bisikan suara suara kecil seperti tengah bercengkarama.
“ada apa sebenarnya?” suara itu semakin mengusik Tarjo untuk semakin mendekat ke pondok tepi ladang tersebut, ia mencoba mengintip Nawang dan suara yang ada di balik pondok kecil itu.  Ternyata cahaya putih yang menemani Nawang adalah sesosok malaikat dengan jubah putihnya bercengkrama dan bercerita bersama Nawang tentang kehidupan, masa depan dan segala kegundahan yang ia rasakan, Malaikat itu seperti nya bukan ibu peri, lebih tepatnya seperti  pangeran putih nan lembut.  Ia duduk di samping Nawang dan mendengar segala keluhan Nawang padanya, sesekali ia usap air mata Nawang dan kadang ia juga pernah memarahi Nawang dengan segala kebijaksanaan nya.  Sampai hari ketujuh dan sekarang sudah hari ke 40, Nawang masih setia dengan ritual nya, dan malaikat itupun juga semakin sering serta semakin senang saja berlama lama dengan Nawang. sepertinya dia antara mereka sudah hadir cinta.
“Cinta? mungkinkah?, mana mungkin ada cinta di antara mereka dan hubungan mereka yang ghaib itu?” Tarjo tentu saja tak habis pikir memikirkan perkara tersebut, setahu Tarjo dan memang hanya itu yang ia tahu, bahwa malaikat tak punya nafsu apalagi rasa cinta, lagi pula apakah Nawang manusia edan, yang bisa jatuh cinta pada sosok yang tidak pernah nyata? lagi pula siapa yang akan percaya dengan cerita itu kelak?”. Kerut kening Tarjo semakit merapat saat memikirkan atau terpikirkan masalah itu.
 “Ah, sudahlah, ini bukan masalah ku” ujar Tarjo mencoba keluar dari rasa penasaran nya.
Panggung semakin ramai saja, liuk tubuh Nawang semakin tampak indah seiring bertambahnya usia Nawang, apalagi saat ini mencukupi usia 20. Seiring itu juga Nawang semakin dekat dengan malaikatnya, sekarang tidak hanya Tarjo yang heran dengan kebiasaan dan ritual Nawang di bukit pengharapan kala senja menua, bahkan ibu Nawang sekalipun sudah menganggap putrinya itu gila, hanya saja Nawang terlalu setia kepada lelaki malikatnya, mungkin hanya tuhan saja yang mampu  memberikan nama untuk kisah mereka, dan biarlah begitu saja.