Senin, 10 Februari 2014

PURNAMA DI TAMPUK NOVEMBER

PURNAMA DI TAMPUK NOVEMBER

Naila, Mata gadis itu bolak balik menangkap citra bayangan yang mungkin akan muncul di ujung jalan depan rumahnya. Sudah sejak lama Naila memperhatikan jalan itu, saban sore saat akan mengaji, setelah menyelesaikan semua pekerjaan rumahnya ia menyandang sebuah kitab suci dan satu selendang bermotif bunga yang warna serta bahannya sudah hampir berubah warna agak ke abu abuan.  Naila benar benar tampak serius dengan aktifitasnya itu, seserius ia mengurusi tetek bengek rumah dan pekerjaan rumah tangga yang tak kunjung kunjung selesai. Awal subuh bahkan sebelum ayam jantan kampung  Hilir berkokok, Naila sudah menggasak tungku dengan perapian dan menjarang periuk nasi serta memasak air panas untuk sarapan pagi orang serumah. Memang begitulah Naila, semakin gadis semakin banyak pula tuntutan untuknya, mulai dari tuntutan mengalah untuk adik adiknya, tuntutan mengurus rumah, sampai tuntutan menikah.
“Hm, Nai” sela ibu Naila sembari memasukan kayu kayu bakar yang mulai berserakan kedalam tungku perapian.
 “ Seingat amak,  umur mu sudahlah masuk 25, sudah gadisnya kau sekarang, agaknya sudah pantas pula kamu mengurusi rumah mu sendiri” sambung amak, melawan kukukan ayam yang sahut menyahut membuka pagi dari tengah dapur.
“Menikah, maksud amak?” Naila memastikan maksud perkataan amak barusan kepada nya.
“iyo, tentulah manikah yang amak maksud, bukan kah sudah cukup umurmu untuk itu. Amak hanya nak mengingatkan sajo, kalau kau setuju amak punyo calon nan cocok untuk mu”
Amak Naila sepertinya tidak kalah serius menggapi pertanyaan anaknya itu, sehingga percakapan pagi di depan perapian itupun terasa sangat hangat.
Naila hanya diam, tak lagi ia sambung kata kata amaknya, kemudian tanpa kata kata ia lanjutkan cucian beras yang tadi sempat terhenti saat mendengar penjelasan amak, air mukanya kini berganti murung, ia hela nafas dalam-dalam seperti ada sesuatu yang mengganjal saluran nafasnya.
***
Langit di ujung rumah gadang, sudah memerah jingga, ayam ayam kampung di kandang bawah rumah panggung itu mulai berbaris mencari pintu masuk dan berkokok mengisi irama alam. Naila mengambil selendangnya dan menenteng kitab suci menuju surau tempat ia biasa mengaji  berkawan kawan.
Purnama di langit senja semakin lama semakin benderang diisi  cahaya matahari yang mulai undur perlahan.  Jalanan menuju surau tiba tiba dipenuhi remaja yang hendak pergi mengaji, riuh anak anak mengaji bersorak sorai tedengar memekakan telinga, berlari- larian, kejar kejaran dengan sepeda sambil menenteng buku mengaji, selendang serta sarung mereka.  Naila berjalan sendiri, jalanya santai, ia angkat kainya hingga di atas mata kaki  agar langkahnya bisa lebih terbuka.
Hingga beberapa langkah melewati rumah pak Datuk, tiba tiba saja langkahnya terhenti, kemudian nailapun menoleh kebelakang, terbayang dari rumah itu keluar seorang laki laki pujaanya, Arif. Laki laki yang sudah pergi beberapa lama. laki laki yang hanya meninggalkan janji, tanpa sajak-sajak, tanpa kabar apa- apa. Hingga purnama berganti sabit. Naila masih percaya bahwa Arif akan menepati janjinya.
Janji itupulalah yang menutup pintu hati Naila untuk terbuka pada calon manapun yang coba di kenalkan Amak dan  Abak  untuknya. Mungkin itu pula yang membuat ia hanya diam tak berkata apa apa saat amak kembali membuka wacana nak mengenalkan Naila dengan anak “Ma’jo Sabri” yang kata amak sudah mapan dan memiliki toko di Jakarta.
***
ujung jalan itu, kembali sepi sepulang anak- anak mengaji, saat ini Naila berjalan agak perlahan, sesekali ia angkat sarungnya setinggi mata kaki dan ia percepat langkahnya menuju pulang, sebelum matahari benar benar bersembunyi bertudung gelap.  Jalanan itu memang terasa amat sepi di hati naila,
 “ benar benar tega uda Arif” bisik nya.
 jalan yang sepi itu membawa Naila pada pikiran tentang janji janji Arif yang hampir lusuh, seperti lusuhnya selendang bermotif bunga yang ia sandang saban sore.
“huf, apa yang harus ku lakukan? kalau besok amak menanyakan lagi tentang anak ma’Jo sabri yang di Jakarta itu”
“ apa yang bisa kukatakan pada amak? dan dimana arif saat ini?” Naila semakin termakan lamunan.
Sesekali ia angkat lagi kain sarungnya semata kaki dan ia percepat langkahnya menuju pulang tapi beberapa saat kemudian kembali masuk dalam lamunan.
“apa mungkin, uda sudah lupa akan janjinya?, kenapa sampai sekarang tak satupun kabar yang ia kirimkan, sebegitu sibukah uda disana?.” Naila semakin cemas memikirkan perkara  janji Arif kepadanya serta perkaran lamaran keluarga ma’jo sabri untuknya, ditambah harapan amak yang inginkan bertali dengan keluarga mereka.
“ah, sudahlah, mungkin baiknya kulupakan saja dia, bukan salahku bila semua janji dulu tak bisa ku tepati, bukan salahku bila tak menunggunya, toh, dia juga sudah tak ingat dengan itu” .Naila, mencoba meluruskan sekelumit pikiran nya tentang Arif.
“tapi, bagaimana kalau uda nanti datang?”
Pikiran nya seperti tengah membolak balik kebimbangan. Bukan tak sabar menunggu, memang benar Arif meminta Naila menanti hingga purnama kesebelas tepat di pertengahan November, tapi layaknya orang yang tengah menanam kata-kata, bukankah semestinya ada kabar tentang itu? bahkan sampai saat ini naila sendiri tak tau apakah Arif masih akan menepati janjinya atau tidak. Janji janji itu seperti jimat buat Naila, agaknya hanya itu yang bisa ia pegang, karena sampai sekarang sudah purnama ke kesepuluh,  belum juga ada kabar dari udanya.
Hari terus berganti dan berkejar kejaran dengan malam memutar waktu. Saban sore Naila menoleh ke luar rumah, matanya menerawang ke ujung jalan seolah ada yang tengah ia tunggu, sepertinya Naila membayangkan uda Arif akan datang dengan tak disangka-sangka dan menepati janjinya, atau setidak tidaknya tukang pos yang  membawakan kabar dari Arif untuk nya.
 “Mak, memangnya anaknya ma’sobri nan di Jakarta itu sudah pulang?” entah apa yang membawa Naila tiba-tiba menanyakan itu kepada amaknya.
“si rifa’i?” sahut amak memastikan.
“hah, tumben betul kau menanyakan anaknya ma’sobri?, setahu amak, sudah 1 minggu dia di rumah, minggu depan ia nak balik ke Jakarta, katanya tak enak juga meninggalkan usahanya yang ada dijakarta”. sahut amak menambahkan penjelasnya.
“memang apa kata ma’sobri ke amak?, apa uda rifa’i itu sudah kenal saya?”.  Naila mencoba menelisik tentang calon dari amaknya, separo berharap keajaiban akan datang, Arif hadir memberi kabar kepadanya.
“rifa’i itu sepangkatan sama sama kakak Ita mu, ia teman dekat kak ita dulu, tentu ia sudah mengenalmu.”
“agaknya tiga tahun lebih tua  dari mu, Sudah bekerja pula, apalagi yang nak ditunggu, kaupun sudah dewasa, dia yang datang kerumah kita nak meminangmu”  lanjut amak menjelaskan.
“minggu depan dia akan balik kejakarta, mengurusi kerjaanya”
“ kalau bisa dia sudah mendapatkan jawaban akan maksud baiknya itu “
“nah sekarang apa yang tengah kau pikirkan? kalau kau tak punya orang yang kau tunggu terimalah Rifa’i, amak rasa bukan orang sembarang pula keluarga mereka”
Amak memang tak pernah memaksa Naila untuk menerima Rifa’i, walau amak berharap bisa berbesanan dengan keluarga rifa’i. sebenarnya berat hati naila untuk mengecewakan amak bila tak menerima pilihan dari amaknya. Apalagi semenjak tak ada kabar dari Arif, ia merasa tak punya alasan untuk menyebut Arif sebagai pilihannya. sudah barang tentu amak dan keluarga naila tak bisa menerima janji- janji tak bertuan seperti itu. 
Tapi jauh di ujung hati kecilnya ia masih yakin Arif akan datang, entah purnama keberapa. lagi-lagi ia kembali diam, ingatan serta bisikan keyakinan akan janji tulus Arif membayang seketika di batin nya, tak kuasa ia tinggalkan Arif, apalagi menerima taqdir untuk dinikahkan dengan orang lain. Tak tebayang pula bagaimana jadinya nanti bila ia menerima tawaran amak, untuk menikah dengan rifa’i.  Tentu tidak hanya Arif yang dibuat merajam asa olehnya, nailapun belum tentu mampu berbilang bahagia dengan pilihan amak tersebut.
Azan ashar telah berkumandang, langit di ujung rumah gadang mulai meredupkan cahayanya, Naila kembali beranjak ke surau menggendong kitab suci dan menarik selendang bermotif bunga nan lusuh itu kekepala.  kali ini jalanan menuju surau sudah dipenuhi anak anak mengaji berpacu dengan sepeda mereka, Naila berjalan santai memegangi kitab suci di tangan kanannya, ia angkat kainnya hingga di atas mata kaki dan ia percepat langkahnya. di ujung jalan ia kembali menoleh seakan dari sana akan datang Arif dengan tak disangka-sangka.  Walau yakin akan janji Arif, sampai saat ini belum juga ada kabar untuk Naila darinya, bahkan hingga sore ini saat punama telah  hampir sampai di tampuk November, Naila masih saja menoleh ke ujung jalan sana, mendekap harap, serta mencoba bertahan dengan diam saat amak kembali menanyakan perihal lamaran untuknya, tentu tak akan selamanya amak bisa menunggu. Akan tetapi naila selalu mencoba bertahan walau tak tau akan sampai kapan bersikap begitu, Naila terus menunggu arif dengan dan harapanya dan entah hingga purnama ke berapa, yang jelas baginya janji tetaplah janji, sampai purnama benar benar tumbuh di tampuk November, naila akan terus setia pada arif dan kata-katanya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar