PURNAMA DI TAMPUK NOVEMBER
Naila, Mata gadis itu bolak balik menangkap citra bayangan yang mungkin
akan muncul di ujung jalan depan rumahnya. Sudah sejak lama Naila memperhatikan
jalan itu, saban sore saat akan mengaji, setelah menyelesaikan semua pekerjaan
rumahnya ia menyandang sebuah kitab suci dan satu selendang bermotif bunga yang
warna serta bahannya sudah hampir berubah warna agak ke abu abuan. Naila benar benar tampak serius dengan
aktifitasnya itu, seserius ia mengurusi tetek bengek rumah dan pekerjaan rumah
tangga yang tak kunjung kunjung selesai. Awal subuh bahkan sebelum ayam jantan
kampung Hilir berkokok, Naila sudah
menggasak tungku dengan perapian dan menjarang periuk nasi serta memasak air
panas untuk sarapan pagi orang serumah. Memang begitulah Naila, semakin gadis
semakin banyak pula tuntutan untuknya, mulai dari tuntutan mengalah untuk adik
adiknya, tuntutan mengurus rumah, sampai tuntutan menikah.
“Hm, Nai” sela
ibu Naila sembari memasukan kayu kayu bakar yang mulai berserakan kedalam
tungku perapian.
“ Seingat amak, umur mu sudahlah masuk 25, sudah gadisnya kau
sekarang, agaknya sudah pantas pula kamu mengurusi rumah mu sendiri” sambung
amak, melawan kukukan ayam yang sahut menyahut membuka pagi dari tengah dapur.
“Menikah, maksud
amak?” Naila memastikan maksud perkataan amak barusan kepada nya.
“iyo, tentulah
manikah yang amak maksud, bukan kah sudah cukup umurmu untuk itu. Amak hanya
nak mengingatkan sajo, kalau kau setuju amak punyo calon nan cocok untuk mu”
Amak Naila
sepertinya tidak kalah serius menggapi pertanyaan anaknya itu, sehingga
percakapan pagi di depan perapian itupun terasa sangat hangat.
Naila hanya
diam, tak lagi ia sambung kata kata amaknya, kemudian tanpa kata kata ia
lanjutkan cucian beras yang tadi sempat terhenti saat mendengar penjelasan
amak, air mukanya kini berganti murung, ia hela nafas dalam-dalam seperti ada sesuatu
yang mengganjal saluran nafasnya.
***
Langit di ujung
rumah gadang, sudah memerah jingga, ayam ayam kampung di kandang bawah rumah panggung
itu mulai berbaris mencari pintu masuk dan berkokok mengisi irama alam. Naila
mengambil selendangnya dan menenteng kitab suci menuju surau tempat ia biasa
mengaji berkawan kawan.
Purnama di
langit senja semakin lama semakin benderang diisi cahaya matahari yang mulai undur
perlahan. Jalanan menuju surau tiba tiba
dipenuhi remaja yang hendak pergi mengaji, riuh anak anak mengaji bersorak
sorai tedengar memekakan telinga, berlari- larian, kejar kejaran dengan sepeda
sambil menenteng buku mengaji, selendang serta sarung mereka. Naila berjalan sendiri, jalanya santai, ia
angkat kainya hingga di atas mata kaki
agar langkahnya bisa lebih terbuka.
Hingga beberapa langkah melewati rumah pak Datuk, tiba tiba saja
langkahnya terhenti, kemudian nailapun menoleh kebelakang, terbayang dari rumah
itu keluar seorang laki laki pujaanya, Arif. Laki laki yang sudah pergi
beberapa lama. laki laki yang hanya meninggalkan janji, tanpa sajak-sajak, tanpa
kabar apa- apa. Hingga purnama berganti sabit. Naila masih percaya bahwa Arif
akan menepati janjinya.
Janji itupulalah
yang menutup pintu hati Naila untuk terbuka pada calon manapun yang coba di
kenalkan Amak dan Abak
untuknya. Mungkin itu pula yang membuat
ia hanya diam tak berkata apa apa saat amak kembali membuka wacana nak
mengenalkan Naila dengan anak “Ma’jo Sabri” yang kata amak sudah mapan dan
memiliki toko di Jakarta.
***
ujung jalan itu, kembali sepi sepulang anak- anak mengaji, saat ini Naila
berjalan agak perlahan, sesekali ia angkat sarungnya setinggi mata kaki dan ia percepat
langkahnya menuju pulang, sebelum matahari benar benar bersembunyi bertudung
gelap. Jalanan itu memang terasa amat
sepi di hati naila,
“ benar benar tega uda Arif” bisik nya.
jalan yang sepi itu membawa Naila pada pikiran
tentang janji janji Arif yang hampir lusuh, seperti lusuhnya selendang bermotif
bunga yang ia sandang saban sore.
“huf, apa yang
harus ku lakukan? kalau besok amak menanyakan lagi tentang anak ma’Jo sabri
yang di Jakarta itu”
“ apa yang bisa
kukatakan pada amak? dan dimana arif saat ini?” Naila semakin termakan lamunan.
Sesekali ia
angkat lagi kain sarungnya semata kaki dan ia percepat langkahnya menuju pulang
tapi beberapa saat kemudian kembali masuk dalam lamunan.
“apa mungkin,
uda sudah lupa akan janjinya?, kenapa sampai sekarang tak satupun kabar yang ia
kirimkan, sebegitu sibukah uda disana?.” Naila semakin cemas memikirkan perkara
janji Arif kepadanya serta perkaran
lamaran keluarga ma’jo sabri untuknya, ditambah harapan amak yang inginkan
bertali dengan keluarga mereka.
“ah, sudahlah,
mungkin baiknya kulupakan saja dia, bukan salahku bila semua janji dulu tak
bisa ku tepati, bukan salahku bila tak menunggunya, toh, dia juga sudah tak
ingat dengan itu” .Naila, mencoba meluruskan sekelumit pikiran nya tentang
Arif.
“tapi, bagaimana
kalau uda nanti datang?”
Pikiran nya
seperti tengah membolak balik kebimbangan. Bukan tak sabar menunggu, memang
benar Arif meminta Naila menanti hingga purnama kesebelas tepat di pertengahan
November, tapi layaknya orang yang tengah menanam kata-kata, bukankah semestinya
ada kabar tentang itu? bahkan sampai saat ini naila sendiri tak tau apakah Arif
masih akan menepati janjinya atau tidak. Janji janji itu seperti jimat buat Naila,
agaknya hanya itu yang bisa ia pegang, karena sampai sekarang sudah purnama ke
kesepuluh, belum juga ada kabar dari
udanya.
Hari terus berganti
dan berkejar kejaran dengan malam memutar waktu. Saban sore Naila menoleh ke luar
rumah, matanya menerawang ke ujung jalan seolah ada yang tengah ia tunggu, sepertinya
Naila membayangkan uda Arif akan datang dengan tak disangka-sangka dan menepati
janjinya, atau setidak tidaknya tukang pos yang
membawakan kabar dari Arif untuk nya.
“Mak, memangnya anaknya ma’sobri nan di
Jakarta itu sudah pulang?” entah apa yang membawa Naila tiba-tiba menanyakan
itu kepada amaknya.
“si rifa’i?”
sahut amak memastikan.
“hah, tumben
betul kau menanyakan anaknya ma’sobri?, setahu amak, sudah 1 minggu dia di
rumah, minggu depan ia nak balik ke Jakarta, katanya tak enak juga meninggalkan
usahanya yang ada dijakarta”. sahut amak menambahkan penjelasnya.
“memang apa kata
ma’sobri ke amak?, apa uda rifa’i itu sudah kenal saya?”. Naila mencoba menelisik tentang calon dari
amaknya, separo berharap keajaiban akan datang, Arif hadir memberi kabar
kepadanya.
“rifa’i itu sepangkatan
sama sama kakak Ita mu, ia teman dekat kak ita dulu, tentu ia sudah
mengenalmu.”
“agaknya tiga
tahun lebih tua dari mu, Sudah bekerja
pula, apalagi yang nak ditunggu, kaupun sudah dewasa, dia yang datang kerumah
kita nak meminangmu” lanjut amak
menjelaskan.
“minggu depan
dia akan balik kejakarta, mengurusi kerjaanya”
“ kalau bisa dia
sudah mendapatkan jawaban akan maksud baiknya itu “
“nah sekarang
apa yang tengah kau pikirkan? kalau kau tak punya orang yang kau tunggu
terimalah Rifa’i, amak rasa bukan orang sembarang pula keluarga mereka”
Amak memang tak pernah memaksa Naila untuk menerima Rifa’i, walau amak
berharap bisa berbesanan dengan keluarga rifa’i. sebenarnya berat hati naila
untuk mengecewakan amak bila tak menerima pilihan dari amaknya. Apalagi
semenjak tak ada kabar dari Arif, ia merasa tak punya alasan untuk menyebut Arif
sebagai pilihannya. sudah barang tentu amak dan keluarga naila tak bisa
menerima janji- janji tak bertuan seperti itu.
Tapi jauh di ujung hati kecilnya ia masih yakin Arif akan datang, entah
purnama keberapa. lagi-lagi ia kembali diam, ingatan serta bisikan keyakinan
akan janji tulus Arif membayang seketika di batin nya, tak kuasa ia tinggalkan Arif,
apalagi menerima taqdir untuk dinikahkan dengan orang lain. Tak tebayang pula bagaimana
jadinya nanti bila ia menerima tawaran amak, untuk menikah dengan rifa’i. Tentu tidak hanya Arif yang dibuat merajam asa
olehnya, nailapun belum tentu mampu berbilang bahagia dengan pilihan amak
tersebut.
Azan ashar telah berkumandang, langit di ujung rumah gadang mulai
meredupkan cahayanya, Naila kembali beranjak ke surau menggendong kitab suci
dan menarik selendang bermotif bunga nan lusuh itu kekepala. kali ini jalanan menuju surau sudah dipenuhi
anak anak mengaji berpacu dengan sepeda mereka, Naila berjalan santai memegangi
kitab suci di tangan kanannya, ia angkat kainnya hingga di atas mata kaki dan
ia percepat langkahnya. di ujung jalan ia kembali menoleh seakan dari sana akan
datang Arif dengan tak disangka-sangka.
Walau yakin akan janji Arif, sampai saat ini belum juga ada kabar untuk Naila
darinya, bahkan hingga sore ini saat punama telah hampir sampai di tampuk November, Naila masih
saja menoleh ke ujung jalan sana, mendekap harap, serta mencoba bertahan dengan
diam saat amak kembali menanyakan perihal lamaran untuknya, tentu tak akan
selamanya amak bisa menunggu. Akan tetapi naila selalu mencoba bertahan walau
tak tau akan sampai kapan bersikap begitu, Naila terus menunggu arif dengan dan
harapanya dan entah hingga purnama ke berapa, yang jelas baginya janji tetaplah
janji, sampai purnama benar benar tumbuh di tampuk November, naila akan terus
setia pada arif dan kata-katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar