Kamis, 26 Desember 2013

KUBURAN


Bagaimana ini? apa yang mesti ku lakukan?, kaku kakiku berdiri di tepi lobang petak 2x3 dengan kedalamam setinggi kepala orang dewasa. Dari kejauhan orang orang sekitar tempat aku berdiri di tepi lobang itu menatap ku heran, “apa gerangan yang hendak dilakukan gadis itu?” kira kira seperti itulah  kalimat yang terdengar dari bisikan kerutan kerutan jidad mereka memandangiku dari kejauhan.
“bagai mana ini?” aku bingung harus melakukan apa, sesosok jasad yang sudah membeku hadir di pangkuan ku, tak berkafan dan tak berbalut apa apa. Jasad itu terkulai pasrah, tangannya lemah seperti tak bertulang lagi, kaki dan pinggangnya pun sudah tak bersatu persendianya.
“Bagaimana harusnya?” batin ku berkelibat bingung, aku masih berdiri di tepi lobang pas badan itu, lobang yang di gali untuk kemudian di timbun dengan gemburan tanah yang membuncit ke atas dan dipagari nisan bertuliskan nama mereka yang menghuni di bawahnya. “Apa yang mesti ku perbuat sekarang?”, jasad yang tak beraga ini sudah tak bisa dibilang sekarat lagi akan tetapi ia sudah mati.  ya, sudah mati dan saat sekarang tengah terkulai di pangkuanku sendiri.
Dia, dialah yang telah membunuhku. Bukan, bukan jasad ku yang ia tikam tapi lebih dalam dari itu, ia lansung menusuk batinku hingga layu sekujur tubuhku, kini mata ku tak mampu menatap waktu yang berjalan kedepan. Kaku sekaku kakunya, dan bisu sebisu bisunya, hanya terkulai, lepas sudah semua mimpi itu, mimpi untuk dicintai, aku telah menjadi mayat yang berjalan tanpa rasa. Lobang 2x3 ini menjadi labuhan ku, aku harus menguburkan segera bayangan nya dan perasaaan yang mati dan terkulai tak bersendi ini.  orang orang yang menatap dari kejauhan itu adalah saksi bahwa tak akan adalagi cerita cinta dalam langkah ku setelah perasaan ini ku timbun dengan gemburan tanah bernisan ini. “Tuhan, mohon terima keputusaan ku, keutusan untuk menimbun harap ku berinai jari di pelaminan, aku mohon redhai aku melangkah sendiri sampai perasaan mati ini reingkarnasi karena satu kejaiban dari mu”  isak ku, mengatar kepergian janji janji indah nan pernah terungkai dalam kisah detik detik lalu bersama nya, kini semua sudah menjadi album biru, dan telah berpulang dalam kuburan ini. benar, hati ku kembali meyakinkan, bahwa tidak ada lagi kata nikah, kata jodoh atau yang senyawa dengan itu, bagiku kehilangan dia telah benar benar membuat aku terpuruk. Sudahlah sudah, kita akhiri saja, aku tak berharap pelaminan itu menjadi miliku lagi.

Rabu, 03 Juli 2013

mimpi yang mengawang

aku memilih jalan untuk menjadi seorang penulis, dan belajar lebih giat tentang bagaimanan menghasilkan tulisan indah dan berbobot adalah keharusan dari jalan yang ku pilih itu, jalan ini lantas meninggalkan konsequensi yang harus ku emban yaitu berlatih menulis, menulis dan menulis. walau baru anak ingusan dlam dunia ini, tapi kekaguman ku kepada mereka yang melahirkan karya yang yang menyisihir banyak orang begitu mengagumkan dimataku, itulah yang selalu membuatku tertarik dengan dunia ini, dunia menulis, bermain dnegan kata, menjadi cerita biasa bisa di baca dengan nyata dan penuh rasa.
minggu terakhir ini, aku tenggelam pada manisnya novel A. fuadi, seorang novelis ternama asal kampung ku sumatera barat. karyanya tidak hanya membuat urat urat sarafku mengendor dari berbagai rutinitas yang menegangkan tapi juga mampu membuat emosi perjuangan meledak bagaikan "bigbang". menikmati perjalanannya menemukan apa yang ia inginkan di tengah ketiddak pastian, ia mengikrarkan diri untuk bekerj keras dan belajar dengan seepenuh hati, menggunakan kekuatan hati yang super ia menerjang segala hambatan dan segala ketidak mungkinan untuk di ubah menjadi sesuatu yang sangat wajar untuk ia terima. saat semua prestasi ia raih dan semua tawaran pekerjaan yang tinggi merendah di hadapan nya, aku yakin itu adalah buah perjuangannya yang berdarah darah dalam mewujukan keinginnanya. seperti yang di sampaikan A. fuadi dalam novelnya dengan nada penuh percay diri" pantaslah aku lebih beruntung dari pada kalian, karena aku telah mengorbankan segala kesenangan kesenangan sementara ku untuk kebuntungan ini" ungakapan sederhana, tapi membuat mulutku yang kerap kali mengeluh kenapa begini dan bgeitu nasibku seolah terkunci dan "skak mat". 
benar sekali 1000 persen benar apa yng di katakan "alif" tokoh yang di ceritakan A. fuadi dalam novelnya. bahwa kebuntungan hanyalah untuk mereka yang pantas, atau mereka yang memantaska diri di depan tuhan untuk semua keberuntungan itu. lebih tepatnya dalam hukum dunia yang kauslita ini, hasil adalah buah dari usaha, dan keberhasilan mencapai semua keinginan kita dalam hidup adalah buah dari usaha yang kita tumpahkan untuk semua encapaian itu.  oleh kerena itu " besarnya hasil yang di dapat berbanding lurus dengan besarnya usaha yang kita lakukan + strategi dalam mendapatkannya.
 dengan ikut mengunakan mantra yang sering di senandungkan "alif" dalam perjalanannya,"man jadda wajada" siapa yang bersungguh sungguh akan berhasil. dan "man shabara zhafira" siapa  yang bersabar akan beruntung" terakhir ia sematkan" siapa yang berjalan dijalanya pasti akan sampai". semoga ketiga mantra ini menjadi mantra sukses juga buat semua mimpi mimpi yang tengah mengawang itu.

Rabu, 26 Juni 2013

BAPAK IBUKU KATOLIK




“Pak, saya sholat dulu ya!”, ungkapku,
“Ndok, besok saya dan ibu ke gereja ya!”
Kata bapak kepadaku.
 Begitu lah dialog yang sering terjadi di rumah ini, tiga orang yang berbeda keyakinan hidup di bawah satu atap setiap harinya. Aku dan kedua orang tua ini berbeda keyakinan, mereka meyakini Yesus sebagai tuhan nya sedangkan aku tidak. Tapi kebersamaan kami terjalin begitu akrab dan dekat, bagiku pak Murtaya adalah orang tuaku selama di perantauan ini. Pak Murtaya sebenarnya adalah kepala sekolah SDN 02 Serdang kuring. Kepala sekolah ku selama dinas di kecamatan bahuga, waykanan lampung.  Mengenal pak Murtaya dan keluarga, membuat paradigmaku terhadap nusantara ini semakin mengesankan, betapa tidak, Dirumah ini, rumah bapak dan ibu angkatku, akumerasa begitu dihargai, perbedaan bagi kami adalah suatu yang sangat lumrah. Sebagai seorang muslim aku sangat tau bahwa orang tua angkatku ini katolik. Walau tuhan kami berbeda, akan tetapi tak sedikitpun mengubah cara pak murtoyo menghormati dan menghargai privasiku sebagai muslim, seringkali pak murtaya atau ibu mengingatkan ku saat azan sudah berkumandang.
Saat itu, di suatu malam menjelang sholat isya, aku, bapak, dan ibu Murtoyo, tengah menikmati layar kaca dengan sajian drama nya, sambil menikmati makanan dan segelas mie instan di tangan ku, kami bertiga melanjutkan perbincangan kecil kami tenatng budaya dan kabiasaan masing masing. Memang perbedaan kami cukup lebar, mereka  berasal dari daerah keratin jogya, sedangkan aku dari minangkabau. Tidak hanya keyakinan saja yang berwarna, kebuadayaan yang kami milikipun berlainan.
Sederhana memang, perbincangan dimuali dari pertanyaan tentang budaya di daerah masing- masing, terkadang kami terlibat diskusi kecil sebagai komentator acara televisi, tentang tetangga-tetangga dan banyak lainya yang kutanya kepada mereka seputar desa dan kampung baru ku ini. lagakku seperti wartawan yang tengah investigasi saja, bertanya tentang ini dan itu kepada keduanya. Disitulah berawal keakraban kami, ternyata pak Murtaya adalah seorang yang memiliki  hobi sewarna dengan ku, sehingga dengan semangat dan antusias bapak dan ibu menjawab pertanyaan- pertanyaanku yang mendarat kepada nya, sampai sampai perbincangan kami merembes kepada memperbincangakan agama masing- masing.
Seperti halnya diskusi dalam sebuah kelas kaum intelektual saja pak Murtoyo bertanya tentang islam kepadaku, meneggarai rasa ingin tahunya tentang islam dan keingintauanku tentang keberagamaan mereka membuat kami menghabiskan waktu hampir dua jam dalam dialog itu. jangan membayangkan dialog ini sebagai tawar menawar keyakinan, bagiku dan yang ku jalani hanyalah sebatas diskusi lepas tentang bagaimana aku dan mereka.  Kenapa katolik begini dan kenapa Muslim itu begitu. Benar benar hanyalah sebuah diskusi yang lebih mengarah kepada meluruskan pandangan orang tentang keyakinan masing masing. Dalam diskusi kami yang berapi api itu, Pak Murtoyo tentu memiliki pandangan sendiri tentang Muslim, dan sebaliknya, akupun meiliki padangan yang subjektif tentang agama katolik.
Detik demi detik berputar sampai tak terasa olehku, mendengar cerita pak Muroyo dalam diskusi malam itu, menyadarkan ku betapa indonesai itu damai. Keberadaanku tinggal dirumah mereka yang katolik disambut dengan baik tak sdikitpun berbeda dengan yang lain, begitu pula rasa hormatku kepada mereka, keyakinan mereka tak mengurungkan niat ini untuk menghargai merek sebagaimana orang tua sendiri.  aku tersentak perbedaan tak akan menjadi pemisah selama kita ttap terfokus kepada persamaan yang juga membentan luas di bumi pertiwi Indonesia, layaknya kebersamaan ku yang tetap damai di rumah Pak Murtoyo.

Bebas,. Inilah hidupku kawan.





Love allah, aku meneriakan kata kata itu didalam hati sembari memejamkan mata menangkap semua pencitraan alam yang memenuhi rongga retina ku sepanjang jalan gumawan ke baradatu. Ku hirup dalam dalam nafas panjang menyimpan udara kebebasan dan kecintaan akan pekerjaan sebagai seorang guru di pedalaman lampung, tepatnya di kecamatan bahuga, pemandangan hijau persawahan dan hutan karet berubah bagaikan surga dengan kedamaian yang hadir di dalam hati.
Perjalanan 21 KM, itu di penuhi dengan sawah dan perkebunan, yang berjejer di perbatasan provinsi lampung dan Sumatra selatan. Cahaya lembut pagi hari yang menerpa wajah ku terasa begitu ramah tersenyum mengucapkan selamat berbahagia untuk seorang petualang sepertiku. Melakoni peran sebagai guru, di daerah kepedalaman sembari menjalani aktifitas fasilitator di masyarakat desa serdang kuring, benar benar menjadi satu kehidupan bagiku, layaknya ikan yang telah lama merindukan kolam dan lautan untuk mengarungi dengan sirip kecilnya, begitulah aku, mengaruingi pertualangan di desa ini.
5-6 jam, perjalanan yang harus ku tempuh selama bolak balik ke kota baradatu, kota pusat kecamatan tempat aku dan teman teman merampungkan program bulanan yang menjadi agenda kelompok kami, pertemuan satu kali sebulan ini menjadi agenda wajibku dan rekan rekan seperjuangan di way kanan lampung. Pertemuan yang tidak hanya berbincang bicang tentang kegiatan akan datang tetapi menjadi ajang untuk curhat dan berbagi.
Perjalanan panjang dan melelahkan itu, sedikitpun tak membebani pikran ku, yang ada hanyalah senyuman, aku ingin meneriakan, merdeka,,,merdeka,,merdeka,,,inilah kehidupan ku yang sesungguhnya. Ini yang kusebut dengan hidup dan kehidupan.
Aku ingin terbang, melintasi awan, menemui wajah wajah baru, melihat senyuman dan menggapai bintang bintang dengan caraku, caraseorang petualang.
aku menikmati perjalanan panjang berjam jam itu dengan senyum kepuasan, pikiran ku seolah olah tak sesak lagi, hati ini rasanya ingin berlari, seperti tengah ada di padang savana nan luas tak berbatas, hanya lagit yang hadir menudunginya.
Tak akan mampu kuukirkan kawan, perjuangan, senyuman, keinginan berbagi bersama orang-orang di penempatan terasa begitu lengkap. Ya sekali  lagi inilah kehidupan kawan.
Bahuga, desa serdang kuring, yang dihuni mayoritas penduduk transmigrasi dari pulau jawa wonogiri. Sumatera yang bergula  jawa, seperti  kain tapis nan bercorak batik. Begitulah nuansa kentalnya kultur jawa di tanah tapis ini. benar benar diluar dugaan perjalanan dan kehidupan di lampung, memberikan realita yang jauh dari visualisasi ku sebelumnya. Aku tak berfikir ini tanah lampung, melainkan pulau jawa.
Aku memang  sedang menikmati sensasi dari perjalanan dan pertualangan ini. tak pedui lumpur jalanan, tak ayal hutan Karet dan perkebunan, tak memikirkan batu jalanan dan bendungan, tak mau tau dengan kesepian disini, semuanya menyatu menjadi adonan kepuasan dan kebahagiaan.
Banyak, dan memang tak sedikit yang memandang pilihan untuk masuk kepedalaman ini sebagai langkah tak berarah, seolah takada pekerjaan lain, atau keterpaksaan mencari penghidupan di kota yang mulai menyusut, komentar mereka beragam, dan mengkalkulasikan dengan fasilitas yang ku tinggalkan. Aku tak peduli. Biarlah mereka dengan komentarnya, tapi ini adalah kehidupan buatku.
Begitulah kawan, segarnya udara kebebasan dan pertualangan ini, kau tak akan dapat menghirupnya sebelum kau memutuskan untuk memilih hidupmu sendiri, menikmatinya, mensyukurinya dan menjalaninya dengan cinta.  Dan kehidupan ini baru akan kau miliki bila kamu memutuskan untuk menjalani jalan mu sendiri. ingat jalan mu sendiri.

Masihkah anda memuji indonesia?


salah satu keindahan indonesia
Sudah terlalu banyak percakapan dan pembicaraan yang buruk tentang Indonesia, sudah terlalu sering kita dengar  orang berkomentar kesalahan ini dan itu, memang segala sesuatu tidak ada yang sempurna termasuk diri kita. Semua tergantung dari cara padang dan paradigma apa yang kita pakai untuk menterjemahkan segala informasi yang kita dapatkan, dan kita terima, yang pasti di setiap sisi putih selalu ada hitam yang mengiringinya.
Begitu juga dengan segala permasalahan bangsa yang saat ini tengah menjadi sorotan public. Baik dari segi pemerintahan, tata Negara, perekonomiannya, sampai kepermasalahan pendidikan. Kecendrungan untuk mengomentari adalah salah satu bentuk rasa kritis seseorang untuk melihat fakta dari sudut pandang yang berbeda, dan bahkan menunjukan tingkat analis, dan keahlian seseorang, karena semakin seseorang mampu mengungkap fakta di balik realita yang ia lihat dan ia dengar maka sudah tentu hal itu mencerminkan semakin tajam daya analisis dan cara berfikirnya.
Di Negara ini, Negara Indonesia sudah tak jarang lagi kita baca maupun dengar pendapat ataupun komentar yang beragam, baik tentang kebijakan pemerintah, maupun komentar dari segi dunia dan bidang lainya. Bahkan tidak hanya pada hal hal yang benar benar serius melainkan pada hal hal yang kurang maupun tidak serius sekalipun selalu ada komentar. Tidak salah bilang ada yang bilang Negara kita sebagai republic komentator.  Sebuah Negara yang senang berkomentar, bangsa yang tak puas-puasnya berpendapat, selalu saja ada komentar dibalik tindakan dan peristiwa yang terjadi, mulai dari kedai kopi sampai layar kaya. Hampir tidak pernah sepi dari para komentator.
 Anda masih ingat dengan salah satu berita ter hot untuk di shoot tahun ini? kebijakan dalam dunia penidikan yang lagi heboh hebohnya dengan masalah perubahan kurikulum, pergantian kurikulum KTSP menjadi kurikulum 2013, kemudian pencabutan status sekolah RSBI/SBI di tanah air.  baru saja keputusan itu terdengar sudah banyak yang membicarakan nya, dengan segala macam pendapat dan opini yang mereka kemukakan. Tidak hanya itu, kebanyakan dari mereka yang berkomentar doyanya membiacarakan sisi negatifnya saja. Hujatan, gugatan, kritikan, dan ketidak senangan di gumbar gambir di media massa. Terkadang setelah saya konsumsi semua itu, cukup ampuh membuat saya tambah ruwet dengan kondisi bangsa ini. lantas pertanyaan nya, dapatkah itusemua menyelesaikan permasalahan yang tengah mendera ibu pertiwi? Bila hanya sekedar berkomentar saja, saya pikir itu belum cukup, bahkan hanya akan menambah masalah saja.
Tidak ada yang salah memang dengan kebiasaan tersebut, dan saya bukan pada posisi sebagai juri untuk menentukan ini salah dan benar. Ada yang mengartikan kebiasaan ini adalah bentukdari implementasian demokrasi di Negara ini, semua orang berhak berbicara, semua orang berhak berpendapat dan memang begitu adanya. Akan tetapi ada satu kecendrungan yang mungkin secara tidak lansung ikut tumbuh dari kebiasaan tersebut. Satu kecendrungan yang malah tidak lagi sebatas memberi cara pandang yang berbeda saja terhadap Negara Indonesia dan segala kebijakan pemerintahan nya. Melainkan menimbulkan emosi “ketidak puasan” terhadap bangsa sendiri.
Segala komentar yang kurang baik dan segala bentuk cara pandang yang cendrung menilai kegagalan serta cara pandang yang berdasarkan dari sudut merah(negative) bangsa ini secara tidak lansung malah melunturkan rasa cinta tanah air bagi generasi mudanya. Seiring berkecamuknya segala macam opini public yang mengecam tanpa memberikan solusi yang jelas serta menjadikan kegagalan pemerintahan sebagai topic utama pembahasan di beberapa pertemuan ilmiah tenyata tidak membawa dampak kearah yang lebih baik. melainkan justru menimbulkan antipati terhadap bangsa sendiri, bahkan ada kecendrungan utnuk negative thinking terhadap bangsa sendiri.
Beberapa opini yang coba saya baca dan lakukan analisa dalam menanggapi satu wacana baru. Dari salah satu blog terkenal on line di tanah air adalah lebih mengedepankan paradigma negative dari pada membangun emosi positif pembaca.
Akibatnya bacaan bacaan tersebut melaihkan ion ion kekecewaan terhadap wajah bumi pertiwi ini.  saya mengerti mengapa pemberitaan tentang kasus kasus dan kebobrokan begitu lezat untuk disantap public? Salah satunya adalah rasa bosan dengan pencitraan pemerintah akan kinerja yang tidak sesuai dengan realita. Namun tindakan over dosis dan perang wacana media masa untuk saling menjatuhkan lawan politik, melalui aksi saling serang guna membunuh karakter seseorang tokoh politik, dan tindakan sejenisnya juga tidak sehat untuk pertumbuhan bangsa ini kedepan nya.
Secara psikologis, pelabelan terhadap seseorang atau sesuatu, akan membentuk paradigma yang sama dalam diri individu tersebut yang kemudian menjadikan ia bertindak dan berperilaku seperti yang dilabelkan, oleh karena itu melabeli anak dengan label negative adalah salah satu bentuk tindakan yang tidak sehat. Begitu pula pelabelan terhadap bangsa ini, saat media tak tertarik lagi mengungkap kehijauan bumi pertiwi dan segala keemasan nya, maka terbentuklah opini public untuk mengecap bangsa kita menjadi seperti yang di beritakan.  Padahal saat media mengangkat pemberitaan buruk tentang bangsa ini, bukan berarti bangsa kita miskin akan prestasi dan nilai-nilai luhur, hanya saja realita itu tak di suguhkan untuk kita santap setiap harinya.
Disinilah letak besarnya pengaruh media massa, yaitu mampu memetakan opini public dan mengaturnya. Namun sebagai menikmat hidangan peberitaan kita mesti cerdas, bahwa pemberitaan media cukup dijadikan sebagai informasi semata, tidak lantas membuat kita ikut mengecam diri sendiri dengan semua stigma negative media massa tersebut.  Karena pada dasarnya setiap elemen memiliki sisi positif dan kurang nya, termasuk bangsa kita dengan segala segi dan sisinya. Give your appreciation for your nation. Apapun yang terjadi jangan sampai kehilangan cinta untuk Indonesia.


TUGAS INI MEMBUNUHKU




Sudah dua minggu keberadaan ku di kampung ini, Serdang Kuring, kampung  yang di huni oleh masyarakat transmigran dari Jawa. Keseharian ku di Lampung tidak ditemani oleh nuansa  Sumatera melainkan Jawa.
Entah apa yang terbesit dipikiran mereka, yang jelas kampung ini dan seluruh masyarakatnya begitu terbuka dan ramah menyambut kedatangan ku di tengah tengah mereka. Banyak memang yang ku dapat disini, khusunya ilmu tentang kemasyarakatan, bila teman teman yang di perguruan tinggi mempelajarinya lewat buku dan dosen dosen mereka ahli sosiologi, aku mendapatkannya langsung dari sumber data itu sendiri, yaitu masyarakat.
Berbaur dan bargabung sebagai orang baru di sebuah kampung bukanlah hal yang mudah ternyata, tidak seperti kehidupan ku sebelumnya, berbalut dengan keacuhan dan rasa tak mau peduli dengan lingkungan luar, yang jelas bagi ku hanyalah aku, keluargaku, kamarku paling jauh tetangga depan rumahku. Sementara tak pernah terpikirkan untuk menjadi dan melebur dengan masyarakat sepenuhnya.
Akan tetapi di kampung ini, aku seperti terperangah, dan seringkali harus membunuh keangkuhan dan kesenangan ku di kamar demi sebuah tugas dan tanggung jawab sebagai fasilitator masyarakat.
Kampung Serdang Kuring adalah salah satu tempat aku menuntut ilmu tersebut, memang tidak tanggung tanggung,  semenjak sah menjadi guru delegasi Dompet dhuafa di kampung ini, aku mencoba membantai kesenangan dan keegoan ku yang dulu begitu bersemi. “Tak ada lagi aku yang dulu,” ungkap hati ku. Ketidak senangan ku berbasa basi sekarang manjadi hal yang harus ku gemari, suka tidak suka harus suka, bisa tidak bisa harus bisa, begitulah tekadku. Ya, memang menurutku harus begitu.
Hari itu satu minggu aku menginap di kampung ini setelah di antar lansung oleh rombongan Dompet dhuafa. Mulailai perang batin itu, seorang anak rumahan yang lumayan acuh di kampung asalnya, merantau ke kampung Jawa yang ada di Lampung. Hari demi hari ku jalani dengan kegelisahan, setiap malam tepikir terus apa yang harus ku lakukan untuk memperkenalkan diri ini yang baru bermukim di kampung?, apa daya pengalaman bersosialisasi ternyata belum begitu matang.
 Congkakku dahulu semasa kuliah ternyata sekarang terbayar dengan tugas-tugas sebagai fasilitator masyarakarat, peran dan tugas ini menuntut aku untuk bisa bermasyarakat dengan hebat, Kikuk sekali kaki ini saat akan melangkahkan ke teras rumah tetangga, setiap kali ingin keluar, selalu ada pertanyaan di hati,  jangan-jangan tetangga lagi sibuk dan tidak mau ku ganggu, atau apa ya yang harus ku katakan saat kerumah mereka?.  “Aduhh  jangan- jangan mereka malah mencuekan kun nanti, hahhh,, berat nih,.” Sebaliknya sebelah hati ini berkata “ gimana to va,, kamu itu sekarang adalah seorang fasilitator, kamu harus memperkenalkan diri kemasyarakat, ayo manfaatkan waktu luang mu untuk sedapat mungkin berkenalan dengan mereka, sekarang mereka adalah orang yang akan menentukan sukses tidaknya program-program mu...”Halahh,, benar benar perang batin dibuatnya.
Disini juga aku berusaha mencintai dan mencari cara untuk mencintai pekerjaan ini, dengan harapan akan tumbuh pula cinta ku kepada setiap hal dan kondisi masyarakat yang ku temui, aku akan berusaha tidak memperdulikan kesenangan diri ini, aku mengikut sertakan diri berbaur dengan ibuibu di kampung, dalam kegiatan muslimatan, masak masak dan pengajian yang cukup rutin dijalani. walaupun kegiatan mereka bukan kegemaran ku, demi tugas ini akan ku cintai mereka. Bagiku Ini adalah satu pembelajaran yang luar biasa, bahwa  bermasyarakat itu penting, dan lewat masyarakatlah kita semakin cepat memahami konsep kedewasaan. Dan kunyatakan tugas sebagi fasilitator ummat ini, telah membunuhku, membunuh aku yang dulu acuh.