Rabu, 26 Juni 2013

BAPAK IBUKU KATOLIK




“Pak, saya sholat dulu ya!”, ungkapku,
“Ndok, besok saya dan ibu ke gereja ya!”
Kata bapak kepadaku.
 Begitu lah dialog yang sering terjadi di rumah ini, tiga orang yang berbeda keyakinan hidup di bawah satu atap setiap harinya. Aku dan kedua orang tua ini berbeda keyakinan, mereka meyakini Yesus sebagai tuhan nya sedangkan aku tidak. Tapi kebersamaan kami terjalin begitu akrab dan dekat, bagiku pak Murtaya adalah orang tuaku selama di perantauan ini. Pak Murtaya sebenarnya adalah kepala sekolah SDN 02 Serdang kuring. Kepala sekolah ku selama dinas di kecamatan bahuga, waykanan lampung.  Mengenal pak Murtaya dan keluarga, membuat paradigmaku terhadap nusantara ini semakin mengesankan, betapa tidak, Dirumah ini, rumah bapak dan ibu angkatku, akumerasa begitu dihargai, perbedaan bagi kami adalah suatu yang sangat lumrah. Sebagai seorang muslim aku sangat tau bahwa orang tua angkatku ini katolik. Walau tuhan kami berbeda, akan tetapi tak sedikitpun mengubah cara pak murtoyo menghormati dan menghargai privasiku sebagai muslim, seringkali pak murtaya atau ibu mengingatkan ku saat azan sudah berkumandang.
Saat itu, di suatu malam menjelang sholat isya, aku, bapak, dan ibu Murtoyo, tengah menikmati layar kaca dengan sajian drama nya, sambil menikmati makanan dan segelas mie instan di tangan ku, kami bertiga melanjutkan perbincangan kecil kami tenatng budaya dan kabiasaan masing masing. Memang perbedaan kami cukup lebar, mereka  berasal dari daerah keratin jogya, sedangkan aku dari minangkabau. Tidak hanya keyakinan saja yang berwarna, kebuadayaan yang kami milikipun berlainan.
Sederhana memang, perbincangan dimuali dari pertanyaan tentang budaya di daerah masing- masing, terkadang kami terlibat diskusi kecil sebagai komentator acara televisi, tentang tetangga-tetangga dan banyak lainya yang kutanya kepada mereka seputar desa dan kampung baru ku ini. lagakku seperti wartawan yang tengah investigasi saja, bertanya tentang ini dan itu kepada keduanya. Disitulah berawal keakraban kami, ternyata pak Murtaya adalah seorang yang memiliki  hobi sewarna dengan ku, sehingga dengan semangat dan antusias bapak dan ibu menjawab pertanyaan- pertanyaanku yang mendarat kepada nya, sampai sampai perbincangan kami merembes kepada memperbincangakan agama masing- masing.
Seperti halnya diskusi dalam sebuah kelas kaum intelektual saja pak Murtoyo bertanya tentang islam kepadaku, meneggarai rasa ingin tahunya tentang islam dan keingintauanku tentang keberagamaan mereka membuat kami menghabiskan waktu hampir dua jam dalam dialog itu. jangan membayangkan dialog ini sebagai tawar menawar keyakinan, bagiku dan yang ku jalani hanyalah sebatas diskusi lepas tentang bagaimana aku dan mereka.  Kenapa katolik begini dan kenapa Muslim itu begitu. Benar benar hanyalah sebuah diskusi yang lebih mengarah kepada meluruskan pandangan orang tentang keyakinan masing masing. Dalam diskusi kami yang berapi api itu, Pak Murtoyo tentu memiliki pandangan sendiri tentang Muslim, dan sebaliknya, akupun meiliki padangan yang subjektif tentang agama katolik.
Detik demi detik berputar sampai tak terasa olehku, mendengar cerita pak Muroyo dalam diskusi malam itu, menyadarkan ku betapa indonesai itu damai. Keberadaanku tinggal dirumah mereka yang katolik disambut dengan baik tak sdikitpun berbeda dengan yang lain, begitu pula rasa hormatku kepada mereka, keyakinan mereka tak mengurungkan niat ini untuk menghargai merek sebagaimana orang tua sendiri.  aku tersentak perbedaan tak akan menjadi pemisah selama kita ttap terfokus kepada persamaan yang juga membentan luas di bumi pertiwi Indonesia, layaknya kebersamaan ku yang tetap damai di rumah Pak Murtoyo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar