Rabu, 26 Juni 2013

TUGAS INI MEMBUNUHKU




Sudah dua minggu keberadaan ku di kampung ini, Serdang Kuring, kampung  yang di huni oleh masyarakat transmigran dari Jawa. Keseharian ku di Lampung tidak ditemani oleh nuansa  Sumatera melainkan Jawa.
Entah apa yang terbesit dipikiran mereka, yang jelas kampung ini dan seluruh masyarakatnya begitu terbuka dan ramah menyambut kedatangan ku di tengah tengah mereka. Banyak memang yang ku dapat disini, khusunya ilmu tentang kemasyarakatan, bila teman teman yang di perguruan tinggi mempelajarinya lewat buku dan dosen dosen mereka ahli sosiologi, aku mendapatkannya langsung dari sumber data itu sendiri, yaitu masyarakat.
Berbaur dan bargabung sebagai orang baru di sebuah kampung bukanlah hal yang mudah ternyata, tidak seperti kehidupan ku sebelumnya, berbalut dengan keacuhan dan rasa tak mau peduli dengan lingkungan luar, yang jelas bagi ku hanyalah aku, keluargaku, kamarku paling jauh tetangga depan rumahku. Sementara tak pernah terpikirkan untuk menjadi dan melebur dengan masyarakat sepenuhnya.
Akan tetapi di kampung ini, aku seperti terperangah, dan seringkali harus membunuh keangkuhan dan kesenangan ku di kamar demi sebuah tugas dan tanggung jawab sebagai fasilitator masyarakat.
Kampung Serdang Kuring adalah salah satu tempat aku menuntut ilmu tersebut, memang tidak tanggung tanggung,  semenjak sah menjadi guru delegasi Dompet dhuafa di kampung ini, aku mencoba membantai kesenangan dan keegoan ku yang dulu begitu bersemi. “Tak ada lagi aku yang dulu,” ungkap hati ku. Ketidak senangan ku berbasa basi sekarang manjadi hal yang harus ku gemari, suka tidak suka harus suka, bisa tidak bisa harus bisa, begitulah tekadku. Ya, memang menurutku harus begitu.
Hari itu satu minggu aku menginap di kampung ini setelah di antar lansung oleh rombongan Dompet dhuafa. Mulailai perang batin itu, seorang anak rumahan yang lumayan acuh di kampung asalnya, merantau ke kampung Jawa yang ada di Lampung. Hari demi hari ku jalani dengan kegelisahan, setiap malam tepikir terus apa yang harus ku lakukan untuk memperkenalkan diri ini yang baru bermukim di kampung?, apa daya pengalaman bersosialisasi ternyata belum begitu matang.
 Congkakku dahulu semasa kuliah ternyata sekarang terbayar dengan tugas-tugas sebagai fasilitator masyarakarat, peran dan tugas ini menuntut aku untuk bisa bermasyarakat dengan hebat, Kikuk sekali kaki ini saat akan melangkahkan ke teras rumah tetangga, setiap kali ingin keluar, selalu ada pertanyaan di hati,  jangan-jangan tetangga lagi sibuk dan tidak mau ku ganggu, atau apa ya yang harus ku katakan saat kerumah mereka?.  “Aduhh  jangan- jangan mereka malah mencuekan kun nanti, hahhh,, berat nih,.” Sebaliknya sebelah hati ini berkata “ gimana to va,, kamu itu sekarang adalah seorang fasilitator, kamu harus memperkenalkan diri kemasyarakat, ayo manfaatkan waktu luang mu untuk sedapat mungkin berkenalan dengan mereka, sekarang mereka adalah orang yang akan menentukan sukses tidaknya program-program mu...”Halahh,, benar benar perang batin dibuatnya.
Disini juga aku berusaha mencintai dan mencari cara untuk mencintai pekerjaan ini, dengan harapan akan tumbuh pula cinta ku kepada setiap hal dan kondisi masyarakat yang ku temui, aku akan berusaha tidak memperdulikan kesenangan diri ini, aku mengikut sertakan diri berbaur dengan ibuibu di kampung, dalam kegiatan muslimatan, masak masak dan pengajian yang cukup rutin dijalani. walaupun kegiatan mereka bukan kegemaran ku, demi tugas ini akan ku cintai mereka. Bagiku Ini adalah satu pembelajaran yang luar biasa, bahwa  bermasyarakat itu penting, dan lewat masyarakatlah kita semakin cepat memahami konsep kedewasaan. Dan kunyatakan tugas sebagi fasilitator ummat ini, telah membunuhku, membunuh aku yang dulu acuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar