Sudah
dua minggu keberadaan ku di kampung ini, Serdang Kuring, kampung yang di huni oleh masyarakat transmigran dari
Jawa. Keseharian ku di Lampung tidak ditemani oleh nuansa Sumatera melainkan Jawa.
Entah apa
yang terbesit dipikiran mereka, yang jelas kampung ini dan seluruh
masyarakatnya begitu terbuka dan ramah menyambut kedatangan ku di tengah tengah
mereka. Banyak memang yang ku dapat disini, khusunya ilmu tentang kemasyarakatan,
bila teman teman yang di perguruan tinggi mempelajarinya lewat buku dan dosen
dosen mereka ahli sosiologi, aku mendapatkannya langsung dari sumber data itu
sendiri, yaitu masyarakat.
Berbaur dan
bargabung sebagai orang baru di sebuah kampung bukanlah hal yang mudah
ternyata, tidak seperti kehidupan ku sebelumnya, berbalut dengan keacuhan dan rasa
tak mau peduli dengan lingkungan luar, yang jelas bagi ku hanyalah aku,
keluargaku, kamarku paling jauh tetangga depan rumahku. Sementara tak pernah
terpikirkan untuk menjadi dan melebur dengan masyarakat sepenuhnya.
Akan tetapi
di kampung ini, aku seperti terperangah, dan seringkali harus membunuh
keangkuhan dan kesenangan ku di kamar demi sebuah tugas dan tanggung jawab
sebagai fasilitator masyarakat.
Kampung Serdang
Kuring adalah salah satu tempat aku menuntut ilmu tersebut, memang tidak
tanggung tanggung, semenjak sah menjadi
guru delegasi Dompet dhuafa di kampung ini, aku mencoba membantai kesenangan
dan keegoan ku yang dulu begitu bersemi. “Tak ada lagi aku yang dulu,” ungkap
hati ku. Ketidak senangan ku berbasa basi sekarang manjadi hal yang harus ku
gemari, suka tidak suka harus suka, bisa tidak bisa harus bisa, begitulah
tekadku. Ya, memang menurutku harus begitu.
Hari itu
satu minggu aku menginap di kampung ini setelah di antar lansung oleh rombongan
Dompet dhuafa. Mulailai perang batin itu, seorang anak rumahan yang lumayan
acuh di kampung asalnya, merantau ke kampung Jawa yang ada di Lampung. Hari demi
hari ku jalani dengan kegelisahan, setiap malam tepikir terus apa yang harus ku
lakukan untuk memperkenalkan diri ini yang baru bermukim di kampung?, apa daya
pengalaman bersosialisasi ternyata belum begitu matang.
Congkakku dahulu semasa kuliah ternyata
sekarang terbayar dengan tugas-tugas sebagai fasilitator masyarakarat, peran
dan tugas ini menuntut aku untuk bisa bermasyarakat dengan hebat, Kikuk sekali
kaki ini saat akan melangkahkan ke teras rumah tetangga, setiap kali ingin
keluar, selalu ada pertanyaan di hati, jangan-jangan tetangga lagi sibuk dan tidak
mau ku ganggu, atau apa ya yang harus ku katakan saat kerumah mereka?. “Aduhh jangan-
jangan mereka malah mencuekan kun nanti, hahhh,, berat nih,.” Sebaliknya sebelah
hati ini berkata “ gimana to va,, kamu itu sekarang adalah seorang fasilitator,
kamu harus memperkenalkan diri kemasyarakat, ayo manfaatkan waktu luang mu
untuk sedapat mungkin berkenalan dengan mereka, sekarang mereka adalah orang
yang akan menentukan sukses tidaknya program-program mu...”Halahh,, benar benar
perang batin dibuatnya.
Disini juga
aku berusaha mencintai dan mencari cara untuk mencintai pekerjaan ini, dengan
harapan akan tumbuh pula cinta ku kepada setiap hal dan kondisi masyarakat yang
ku temui, aku akan berusaha tidak memperdulikan kesenangan diri ini, aku mengikut
sertakan diri berbaur dengan ibuibu di kampung, dalam kegiatan muslimatan,
masak masak dan pengajian yang cukup rutin dijalani. walaupun kegiatan mereka
bukan kegemaran ku, demi tugas ini akan ku cintai mereka. Bagiku Ini adalah
satu pembelajaran yang luar biasa, bahwa
bermasyarakat itu penting, dan lewat masyarakatlah kita semakin cepat
memahami konsep kedewasaan. Dan kunyatakan tugas sebagi fasilitator ummat ini,
telah membunuhku, membunuh aku yang dulu acuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar