Rabu, 26 Juni 2013

BAPAK IBUKU KATOLIK




“Pak, saya sholat dulu ya!”, ungkapku,
“Ndok, besok saya dan ibu ke gereja ya!”
Kata bapak kepadaku.
 Begitu lah dialog yang sering terjadi di rumah ini, tiga orang yang berbeda keyakinan hidup di bawah satu atap setiap harinya. Aku dan kedua orang tua ini berbeda keyakinan, mereka meyakini Yesus sebagai tuhan nya sedangkan aku tidak. Tapi kebersamaan kami terjalin begitu akrab dan dekat, bagiku pak Murtaya adalah orang tuaku selama di perantauan ini. Pak Murtaya sebenarnya adalah kepala sekolah SDN 02 Serdang kuring. Kepala sekolah ku selama dinas di kecamatan bahuga, waykanan lampung.  Mengenal pak Murtaya dan keluarga, membuat paradigmaku terhadap nusantara ini semakin mengesankan, betapa tidak, Dirumah ini, rumah bapak dan ibu angkatku, akumerasa begitu dihargai, perbedaan bagi kami adalah suatu yang sangat lumrah. Sebagai seorang muslim aku sangat tau bahwa orang tua angkatku ini katolik. Walau tuhan kami berbeda, akan tetapi tak sedikitpun mengubah cara pak murtoyo menghormati dan menghargai privasiku sebagai muslim, seringkali pak murtaya atau ibu mengingatkan ku saat azan sudah berkumandang.
Saat itu, di suatu malam menjelang sholat isya, aku, bapak, dan ibu Murtoyo, tengah menikmati layar kaca dengan sajian drama nya, sambil menikmati makanan dan segelas mie instan di tangan ku, kami bertiga melanjutkan perbincangan kecil kami tenatng budaya dan kabiasaan masing masing. Memang perbedaan kami cukup lebar, mereka  berasal dari daerah keratin jogya, sedangkan aku dari minangkabau. Tidak hanya keyakinan saja yang berwarna, kebuadayaan yang kami milikipun berlainan.
Sederhana memang, perbincangan dimuali dari pertanyaan tentang budaya di daerah masing- masing, terkadang kami terlibat diskusi kecil sebagai komentator acara televisi, tentang tetangga-tetangga dan banyak lainya yang kutanya kepada mereka seputar desa dan kampung baru ku ini. lagakku seperti wartawan yang tengah investigasi saja, bertanya tentang ini dan itu kepada keduanya. Disitulah berawal keakraban kami, ternyata pak Murtaya adalah seorang yang memiliki  hobi sewarna dengan ku, sehingga dengan semangat dan antusias bapak dan ibu menjawab pertanyaan- pertanyaanku yang mendarat kepada nya, sampai sampai perbincangan kami merembes kepada memperbincangakan agama masing- masing.
Seperti halnya diskusi dalam sebuah kelas kaum intelektual saja pak Murtoyo bertanya tentang islam kepadaku, meneggarai rasa ingin tahunya tentang islam dan keingintauanku tentang keberagamaan mereka membuat kami menghabiskan waktu hampir dua jam dalam dialog itu. jangan membayangkan dialog ini sebagai tawar menawar keyakinan, bagiku dan yang ku jalani hanyalah sebatas diskusi lepas tentang bagaimana aku dan mereka.  Kenapa katolik begini dan kenapa Muslim itu begitu. Benar benar hanyalah sebuah diskusi yang lebih mengarah kepada meluruskan pandangan orang tentang keyakinan masing masing. Dalam diskusi kami yang berapi api itu, Pak Murtoyo tentu memiliki pandangan sendiri tentang Muslim, dan sebaliknya, akupun meiliki padangan yang subjektif tentang agama katolik.
Detik demi detik berputar sampai tak terasa olehku, mendengar cerita pak Muroyo dalam diskusi malam itu, menyadarkan ku betapa indonesai itu damai. Keberadaanku tinggal dirumah mereka yang katolik disambut dengan baik tak sdikitpun berbeda dengan yang lain, begitu pula rasa hormatku kepada mereka, keyakinan mereka tak mengurungkan niat ini untuk menghargai merek sebagaimana orang tua sendiri.  aku tersentak perbedaan tak akan menjadi pemisah selama kita ttap terfokus kepada persamaan yang juga membentan luas di bumi pertiwi Indonesia, layaknya kebersamaan ku yang tetap damai di rumah Pak Murtoyo.

Bebas,. Inilah hidupku kawan.





Love allah, aku meneriakan kata kata itu didalam hati sembari memejamkan mata menangkap semua pencitraan alam yang memenuhi rongga retina ku sepanjang jalan gumawan ke baradatu. Ku hirup dalam dalam nafas panjang menyimpan udara kebebasan dan kecintaan akan pekerjaan sebagai seorang guru di pedalaman lampung, tepatnya di kecamatan bahuga, pemandangan hijau persawahan dan hutan karet berubah bagaikan surga dengan kedamaian yang hadir di dalam hati.
Perjalanan 21 KM, itu di penuhi dengan sawah dan perkebunan, yang berjejer di perbatasan provinsi lampung dan Sumatra selatan. Cahaya lembut pagi hari yang menerpa wajah ku terasa begitu ramah tersenyum mengucapkan selamat berbahagia untuk seorang petualang sepertiku. Melakoni peran sebagai guru, di daerah kepedalaman sembari menjalani aktifitas fasilitator di masyarakat desa serdang kuring, benar benar menjadi satu kehidupan bagiku, layaknya ikan yang telah lama merindukan kolam dan lautan untuk mengarungi dengan sirip kecilnya, begitulah aku, mengaruingi pertualangan di desa ini.
5-6 jam, perjalanan yang harus ku tempuh selama bolak balik ke kota baradatu, kota pusat kecamatan tempat aku dan teman teman merampungkan program bulanan yang menjadi agenda kelompok kami, pertemuan satu kali sebulan ini menjadi agenda wajibku dan rekan rekan seperjuangan di way kanan lampung. Pertemuan yang tidak hanya berbincang bicang tentang kegiatan akan datang tetapi menjadi ajang untuk curhat dan berbagi.
Perjalanan panjang dan melelahkan itu, sedikitpun tak membebani pikran ku, yang ada hanyalah senyuman, aku ingin meneriakan, merdeka,,,merdeka,,merdeka,,,inilah kehidupan ku yang sesungguhnya. Ini yang kusebut dengan hidup dan kehidupan.
Aku ingin terbang, melintasi awan, menemui wajah wajah baru, melihat senyuman dan menggapai bintang bintang dengan caraku, caraseorang petualang.
aku menikmati perjalanan panjang berjam jam itu dengan senyum kepuasan, pikiran ku seolah olah tak sesak lagi, hati ini rasanya ingin berlari, seperti tengah ada di padang savana nan luas tak berbatas, hanya lagit yang hadir menudunginya.
Tak akan mampu kuukirkan kawan, perjuangan, senyuman, keinginan berbagi bersama orang-orang di penempatan terasa begitu lengkap. Ya sekali  lagi inilah kehidupan kawan.
Bahuga, desa serdang kuring, yang dihuni mayoritas penduduk transmigrasi dari pulau jawa wonogiri. Sumatera yang bergula  jawa, seperti  kain tapis nan bercorak batik. Begitulah nuansa kentalnya kultur jawa di tanah tapis ini. benar benar diluar dugaan perjalanan dan kehidupan di lampung, memberikan realita yang jauh dari visualisasi ku sebelumnya. Aku tak berfikir ini tanah lampung, melainkan pulau jawa.
Aku memang  sedang menikmati sensasi dari perjalanan dan pertualangan ini. tak pedui lumpur jalanan, tak ayal hutan Karet dan perkebunan, tak memikirkan batu jalanan dan bendungan, tak mau tau dengan kesepian disini, semuanya menyatu menjadi adonan kepuasan dan kebahagiaan.
Banyak, dan memang tak sedikit yang memandang pilihan untuk masuk kepedalaman ini sebagai langkah tak berarah, seolah takada pekerjaan lain, atau keterpaksaan mencari penghidupan di kota yang mulai menyusut, komentar mereka beragam, dan mengkalkulasikan dengan fasilitas yang ku tinggalkan. Aku tak peduli. Biarlah mereka dengan komentarnya, tapi ini adalah kehidupan buatku.
Begitulah kawan, segarnya udara kebebasan dan pertualangan ini, kau tak akan dapat menghirupnya sebelum kau memutuskan untuk memilih hidupmu sendiri, menikmatinya, mensyukurinya dan menjalaninya dengan cinta.  Dan kehidupan ini baru akan kau miliki bila kamu memutuskan untuk menjalani jalan mu sendiri. ingat jalan mu sendiri.

Masihkah anda memuji indonesia?


salah satu keindahan indonesia
Sudah terlalu banyak percakapan dan pembicaraan yang buruk tentang Indonesia, sudah terlalu sering kita dengar  orang berkomentar kesalahan ini dan itu, memang segala sesuatu tidak ada yang sempurna termasuk diri kita. Semua tergantung dari cara padang dan paradigma apa yang kita pakai untuk menterjemahkan segala informasi yang kita dapatkan, dan kita terima, yang pasti di setiap sisi putih selalu ada hitam yang mengiringinya.
Begitu juga dengan segala permasalahan bangsa yang saat ini tengah menjadi sorotan public. Baik dari segi pemerintahan, tata Negara, perekonomiannya, sampai kepermasalahan pendidikan. Kecendrungan untuk mengomentari adalah salah satu bentuk rasa kritis seseorang untuk melihat fakta dari sudut pandang yang berbeda, dan bahkan menunjukan tingkat analis, dan keahlian seseorang, karena semakin seseorang mampu mengungkap fakta di balik realita yang ia lihat dan ia dengar maka sudah tentu hal itu mencerminkan semakin tajam daya analisis dan cara berfikirnya.
Di Negara ini, Negara Indonesia sudah tak jarang lagi kita baca maupun dengar pendapat ataupun komentar yang beragam, baik tentang kebijakan pemerintah, maupun komentar dari segi dunia dan bidang lainya. Bahkan tidak hanya pada hal hal yang benar benar serius melainkan pada hal hal yang kurang maupun tidak serius sekalipun selalu ada komentar. Tidak salah bilang ada yang bilang Negara kita sebagai republic komentator.  Sebuah Negara yang senang berkomentar, bangsa yang tak puas-puasnya berpendapat, selalu saja ada komentar dibalik tindakan dan peristiwa yang terjadi, mulai dari kedai kopi sampai layar kaya. Hampir tidak pernah sepi dari para komentator.
 Anda masih ingat dengan salah satu berita ter hot untuk di shoot tahun ini? kebijakan dalam dunia penidikan yang lagi heboh hebohnya dengan masalah perubahan kurikulum, pergantian kurikulum KTSP menjadi kurikulum 2013, kemudian pencabutan status sekolah RSBI/SBI di tanah air.  baru saja keputusan itu terdengar sudah banyak yang membicarakan nya, dengan segala macam pendapat dan opini yang mereka kemukakan. Tidak hanya itu, kebanyakan dari mereka yang berkomentar doyanya membiacarakan sisi negatifnya saja. Hujatan, gugatan, kritikan, dan ketidak senangan di gumbar gambir di media massa. Terkadang setelah saya konsumsi semua itu, cukup ampuh membuat saya tambah ruwet dengan kondisi bangsa ini. lantas pertanyaan nya, dapatkah itusemua menyelesaikan permasalahan yang tengah mendera ibu pertiwi? Bila hanya sekedar berkomentar saja, saya pikir itu belum cukup, bahkan hanya akan menambah masalah saja.
Tidak ada yang salah memang dengan kebiasaan tersebut, dan saya bukan pada posisi sebagai juri untuk menentukan ini salah dan benar. Ada yang mengartikan kebiasaan ini adalah bentukdari implementasian demokrasi di Negara ini, semua orang berhak berbicara, semua orang berhak berpendapat dan memang begitu adanya. Akan tetapi ada satu kecendrungan yang mungkin secara tidak lansung ikut tumbuh dari kebiasaan tersebut. Satu kecendrungan yang malah tidak lagi sebatas memberi cara pandang yang berbeda saja terhadap Negara Indonesia dan segala kebijakan pemerintahan nya. Melainkan menimbulkan emosi “ketidak puasan” terhadap bangsa sendiri.
Segala komentar yang kurang baik dan segala bentuk cara pandang yang cendrung menilai kegagalan serta cara pandang yang berdasarkan dari sudut merah(negative) bangsa ini secara tidak lansung malah melunturkan rasa cinta tanah air bagi generasi mudanya. Seiring berkecamuknya segala macam opini public yang mengecam tanpa memberikan solusi yang jelas serta menjadikan kegagalan pemerintahan sebagai topic utama pembahasan di beberapa pertemuan ilmiah tenyata tidak membawa dampak kearah yang lebih baik. melainkan justru menimbulkan antipati terhadap bangsa sendiri, bahkan ada kecendrungan utnuk negative thinking terhadap bangsa sendiri.
Beberapa opini yang coba saya baca dan lakukan analisa dalam menanggapi satu wacana baru. Dari salah satu blog terkenal on line di tanah air adalah lebih mengedepankan paradigma negative dari pada membangun emosi positif pembaca.
Akibatnya bacaan bacaan tersebut melaihkan ion ion kekecewaan terhadap wajah bumi pertiwi ini.  saya mengerti mengapa pemberitaan tentang kasus kasus dan kebobrokan begitu lezat untuk disantap public? Salah satunya adalah rasa bosan dengan pencitraan pemerintah akan kinerja yang tidak sesuai dengan realita. Namun tindakan over dosis dan perang wacana media masa untuk saling menjatuhkan lawan politik, melalui aksi saling serang guna membunuh karakter seseorang tokoh politik, dan tindakan sejenisnya juga tidak sehat untuk pertumbuhan bangsa ini kedepan nya.
Secara psikologis, pelabelan terhadap seseorang atau sesuatu, akan membentuk paradigma yang sama dalam diri individu tersebut yang kemudian menjadikan ia bertindak dan berperilaku seperti yang dilabelkan, oleh karena itu melabeli anak dengan label negative adalah salah satu bentuk tindakan yang tidak sehat. Begitu pula pelabelan terhadap bangsa ini, saat media tak tertarik lagi mengungkap kehijauan bumi pertiwi dan segala keemasan nya, maka terbentuklah opini public untuk mengecap bangsa kita menjadi seperti yang di beritakan.  Padahal saat media mengangkat pemberitaan buruk tentang bangsa ini, bukan berarti bangsa kita miskin akan prestasi dan nilai-nilai luhur, hanya saja realita itu tak di suguhkan untuk kita santap setiap harinya.
Disinilah letak besarnya pengaruh media massa, yaitu mampu memetakan opini public dan mengaturnya. Namun sebagai menikmat hidangan peberitaan kita mesti cerdas, bahwa pemberitaan media cukup dijadikan sebagai informasi semata, tidak lantas membuat kita ikut mengecam diri sendiri dengan semua stigma negative media massa tersebut.  Karena pada dasarnya setiap elemen memiliki sisi positif dan kurang nya, termasuk bangsa kita dengan segala segi dan sisinya. Give your appreciation for your nation. Apapun yang terjadi jangan sampai kehilangan cinta untuk Indonesia.


TUGAS INI MEMBUNUHKU




Sudah dua minggu keberadaan ku di kampung ini, Serdang Kuring, kampung  yang di huni oleh masyarakat transmigran dari Jawa. Keseharian ku di Lampung tidak ditemani oleh nuansa  Sumatera melainkan Jawa.
Entah apa yang terbesit dipikiran mereka, yang jelas kampung ini dan seluruh masyarakatnya begitu terbuka dan ramah menyambut kedatangan ku di tengah tengah mereka. Banyak memang yang ku dapat disini, khusunya ilmu tentang kemasyarakatan, bila teman teman yang di perguruan tinggi mempelajarinya lewat buku dan dosen dosen mereka ahli sosiologi, aku mendapatkannya langsung dari sumber data itu sendiri, yaitu masyarakat.
Berbaur dan bargabung sebagai orang baru di sebuah kampung bukanlah hal yang mudah ternyata, tidak seperti kehidupan ku sebelumnya, berbalut dengan keacuhan dan rasa tak mau peduli dengan lingkungan luar, yang jelas bagi ku hanyalah aku, keluargaku, kamarku paling jauh tetangga depan rumahku. Sementara tak pernah terpikirkan untuk menjadi dan melebur dengan masyarakat sepenuhnya.
Akan tetapi di kampung ini, aku seperti terperangah, dan seringkali harus membunuh keangkuhan dan kesenangan ku di kamar demi sebuah tugas dan tanggung jawab sebagai fasilitator masyarakat.
Kampung Serdang Kuring adalah salah satu tempat aku menuntut ilmu tersebut, memang tidak tanggung tanggung,  semenjak sah menjadi guru delegasi Dompet dhuafa di kampung ini, aku mencoba membantai kesenangan dan keegoan ku yang dulu begitu bersemi. “Tak ada lagi aku yang dulu,” ungkap hati ku. Ketidak senangan ku berbasa basi sekarang manjadi hal yang harus ku gemari, suka tidak suka harus suka, bisa tidak bisa harus bisa, begitulah tekadku. Ya, memang menurutku harus begitu.
Hari itu satu minggu aku menginap di kampung ini setelah di antar lansung oleh rombongan Dompet dhuafa. Mulailai perang batin itu, seorang anak rumahan yang lumayan acuh di kampung asalnya, merantau ke kampung Jawa yang ada di Lampung. Hari demi hari ku jalani dengan kegelisahan, setiap malam tepikir terus apa yang harus ku lakukan untuk memperkenalkan diri ini yang baru bermukim di kampung?, apa daya pengalaman bersosialisasi ternyata belum begitu matang.
 Congkakku dahulu semasa kuliah ternyata sekarang terbayar dengan tugas-tugas sebagai fasilitator masyarakarat, peran dan tugas ini menuntut aku untuk bisa bermasyarakat dengan hebat, Kikuk sekali kaki ini saat akan melangkahkan ke teras rumah tetangga, setiap kali ingin keluar, selalu ada pertanyaan di hati,  jangan-jangan tetangga lagi sibuk dan tidak mau ku ganggu, atau apa ya yang harus ku katakan saat kerumah mereka?.  “Aduhh  jangan- jangan mereka malah mencuekan kun nanti, hahhh,, berat nih,.” Sebaliknya sebelah hati ini berkata “ gimana to va,, kamu itu sekarang adalah seorang fasilitator, kamu harus memperkenalkan diri kemasyarakat, ayo manfaatkan waktu luang mu untuk sedapat mungkin berkenalan dengan mereka, sekarang mereka adalah orang yang akan menentukan sukses tidaknya program-program mu...”Halahh,, benar benar perang batin dibuatnya.
Disini juga aku berusaha mencintai dan mencari cara untuk mencintai pekerjaan ini, dengan harapan akan tumbuh pula cinta ku kepada setiap hal dan kondisi masyarakat yang ku temui, aku akan berusaha tidak memperdulikan kesenangan diri ini, aku mengikut sertakan diri berbaur dengan ibuibu di kampung, dalam kegiatan muslimatan, masak masak dan pengajian yang cukup rutin dijalani. walaupun kegiatan mereka bukan kegemaran ku, demi tugas ini akan ku cintai mereka. Bagiku Ini adalah satu pembelajaran yang luar biasa, bahwa  bermasyarakat itu penting, dan lewat masyarakatlah kita semakin cepat memahami konsep kedewasaan. Dan kunyatakan tugas sebagi fasilitator ummat ini, telah membunuhku, membunuh aku yang dulu acuh.

kartini dari pelosok negeri






“Siang berganti malam dan malam bersambung dengan siang, aku tak henti hentinya nandur ndok, balik nandur dari satu sawah kesawah orang lain ku lakukan, semua itu demi anak ku mas Ribut. Anak kedua ku yang sangat ingin sekolah dan memang ia anak yang berprestasi di sekolah nya”. 
“Nasibnya berbeda dengan kakaknya, uang dan simpanan mamak habis untuk memenuhi biaya pendidikan untuk memasuki kepolisian, tetapi apa dikata nasib berkata lain usaha keras ia untuk lulus ke kepolisian saat itu harus mundur karena tak ada biaya. meskipun demikian untuk membiayai ia mengkuti tes kepolisian dan lainya mamak sudah menjual segala harta benda keluarga kami yang juga tidak banyak, kebun karet dan sawah kami jual demi memenuhi cita cita putra pertama ku dan selebihnya aku hanya mengandalakan nama baik ini untuk meminjam ketetangga sebelah rumah, berlandaskan nama baik semata aku mencoba berkeliling kampung bekerja sepanjang hari semasa aku sehat dulu.  kami sudah tidak memiliki apa-apa dan sekolah untuk anak-anaku adalah harta yang menjadi harapan ku dan suami”.
Begitulah penuturan Mak Uki, wanita paruh baya itu menceritakan kepedihan dan segala ujian hidup yang ia lakoni semasa menyekolahkan anak anaknya. Berita akan prestasi anaknya yang mendulang juara di sekolah dan saat itu diterima disekolah favorite Palembang, membuat Mak Uki begitu gembira, tak tega ia patahkan kemauan anaknya untuk terus bersekolah hanya karena tidak punya uang. Bagi Mak Uki uang bisa dicari, tapi pendidikan anaknya adalah utama. Kami bukan keluarga kaya, dan memiliki 4 orang anak. untuk menyekolahkan mereka Mak Uki berusaha sekuat tenaga membanting tulang di kebun orang. Setiap hari ia berangkat menuju kebun.
Jam 6 pagi dan kembali jam 8 malam, begitu setiap hari. “Rasanya otak ku benar benar berputar ndok,,mencarikan uang tiga ratus ribu rupiah setiap minggunya buat anak ku sekolah, lawong aku cuma buruh tani ,nggak punya apa-apa,  letih dan segala usaha harus ku lakukan demi sekolah putra ku itu”. Mak Uki seperti kembali kemasa masa itu, saat mengenang derita dan perjuangannya ketika menyekolahkan anak-anaknya. Uang itu ia pinjam dari tetangga sekitar rumah, sementara untuk menggantinya dibayar dengan bekerja tanpa digaji lagi di kebun tetangga tersebut. Bertahun-tahun Mak Uki berlumuran utang berpindah dari satu kebun ke kebun lain sepanjang hari, dari pagi sampai malam.  Alhasil putra tersayang akhirnya menyelesaikan sekolah di SLTA.
***
Masa depan yang tertunda
Hari itu adalah hari kelulusan Ribut di UNILA, universitas favorite di Lampung, bagi siswa SLTA sekitar lampung dan Palembang,  masuk dan mendapatkan bangku di UNILA adalah satu kebanggaan, karena  harus mampu mengalahkan ratusan bahkan ribuan pesaing.
Dan Ribut putra kedua Mak Uki, membuktikan kemampuan nya itu. kabar gembira itu pula ikut dirayakan teman teman mas Ribut, mereka datang dan memberikan selamat kepada sahabat mereka yang beruntung saat itu. Malangnya kabar itu ibarat petir disiang hari bagi Mak Uki, ia tak tau harus bagaimana menghadapi kegembiraan putra kesayangan, mas Ribut.
Kembali ia kepalkan tangan dan kekuatan dirinya, hatinya bergetar memikirkan uang masuk mas Ribut ke UNILA, tak ada lagi yang bisa digadaikan, semua terjual dan telah habis untuk membiayai anak pertamanya dulu, satu satu harapan adalah janji mas Wawan, putra pertama Mak Uki yang berjanji akan membiayai pendidikan adiknya sebagai ganti dari pengorbannan ibunda yang telah habis habisan untuknya.
Malangnya, saat ini putra pertama Mak Uki dalam keadaan yang sulit, ia tak sanggup membiayai adiknya memasuki UNILA. Semua harapan Mak Uki hancur berkeping,tak ada kata kata lagi yang mampu ia ucapkan, semua badan nya terasa lemas, Mak Uki akhirnya jatuh sakit, berita gembira itu berganti kabar duka, keadaan Mak Uki drop dan mas Ribut pun harus ikhlas menerima realita untuk tidak melanjutkan kuliah.
Mimpi terkadang memang tak seindah kenyataan, berapa bulan setelah itu Mak Uki kembali sembuh, ia tak tega melihat anaknya yang stress menerima kenyataan itu. Akhirnya Mak Uki mengusahakan anaknya untuk masuk kesalah satu program pelatihan computer selama satu tahun. Ia berharap walaupun batal menyandang gelar s1, pendidikan ini akan tetap bisa menjadi bekal bagi anaknya memasuki lapangan kerja nantinya.
Begitu majunya pemikiran wanita ini, berbekal pendidikan ditingkat SD dan hidup di pedalaman ternyata tidak menghambat pandangan nya terhadap dunia luar. Aku hanya bisa menatap Mak Uki dengan tatapan kekaguman. Cinta nya sebagai seorang ibu dan kekuatan hatinya menjalani semua kesulitan keluarga serta perjuangan nya memperjuangkan cita cita anak-anaknya membuatku berdecak kagum, luar biasa.
Cerita memang tak hanya berhenti disitu saja, pernah satu hari Mak Uki pingsan di tengah ladang yang luasnya 1 hektar, milik seorang petani makmur di desa itu dan Mak Uki bekerja seharian disana untuk menyirami tanah perkebunan nan luas itu dengan racun hama. Tiba tiba saja badan dan kepalanya terasa begitu berat, Mak Uki tergelepar keracunan di tengah luasnya kebun tersebut. Beruntung kejadian itu di ketahui oleh orang yang kebetulan tengah bekerja di ladang. Mak Uki di larikan kerumah sakit, ia dinyatakan keracunan. Barangkali menyemproti hama tanaman yang begitu luas membuat Mak Uki menghirup zat mematikan itu terlalu banyak, akibatnya ia pingsan, beruntung sekali nyawa Mak Uki masih tertolong. Lagi lagi aku berdecak kagum, hebat.
Waktu berjalan, putra kedua Mak Uki akhirnya menyelesaikan perkuliahan nya, keinginan putranya tersebut didukung penuh oleh Mak Uki dengan seluruh tenaga. Mas Ribut berhasil menyelesaikan wisudanya sebagai sarjana desain grafis. Melihat prestasi dan kesungguhan nya, akhirnya mas Ribut di biayai oleh sebuah perusahaan konsultan, untuk melanjutkan study untuk kemudian bekerja kembali di perusahaan tersebut. Pejuangan pahit Mak Uki yang kerap kali bermain dengan maut berganti sumbringah senyum dan kepuasan melihat anak kesayangan nya itu mengenakan toga kebesaran.
Perjalanan hidup Mak Uki, benar benar membuatku terkesima, ternyata keterbatasan dan kesulitan bahkan tidak adanya harta benda, dan biaya tak menghentikan langkahnya memperjuangkan pendidikan anak-anaknya.  Bagi ku Mak Uki, seperti kartini dari Serdang Kuring. Wanita yang tak bisa diam dengan keterbatasan, dan mencoba mendongkak kesombongan dunia dengan perjuanganya.