“Pak, saya sholat dulu ya!”, ungkapku,
“Ndok, besok saya dan ibu ke gereja ya!”
Kata bapak kepadaku.
Begitu lah
dialog yang sering terjadi di rumah ini, tiga orang yang berbeda keyakinan
hidup di bawah satu atap setiap harinya. Aku dan kedua orang tua ini berbeda keyakinan,
mereka meyakini Yesus sebagai tuhan nya sedangkan aku tidak. Tapi kebersamaan
kami terjalin begitu akrab dan dekat, bagiku pak Murtaya adalah orang tuaku
selama di perantauan ini. Pak Murtaya sebenarnya adalah kepala sekolah SDN 02
Serdang kuring. Kepala sekolah ku selama dinas di kecamatan bahuga, waykanan
lampung. Mengenal pak Murtaya dan
keluarga, membuat paradigmaku terhadap nusantara ini semakin mengesankan,
betapa tidak, Dirumah ini, rumah bapak dan ibu angkatku, akumerasa begitu
dihargai, perbedaan bagi kami adalah suatu yang sangat lumrah. Sebagai seorang
muslim aku sangat tau bahwa orang tua angkatku ini katolik. Walau tuhan kami
berbeda, akan tetapi tak sedikitpun mengubah cara pak murtoyo menghormati dan
menghargai privasiku sebagai muslim, seringkali pak murtaya atau ibu
mengingatkan ku saat azan sudah berkumandang.
Saat itu, di suatu malam menjelang
sholat isya, aku, bapak, dan ibu Murtoyo, tengah menikmati layar kaca dengan
sajian drama nya, sambil menikmati makanan dan segelas mie instan di tangan ku,
kami bertiga melanjutkan perbincangan kecil kami tenatng budaya dan kabiasaan
masing masing. Memang perbedaan kami cukup lebar, mereka berasal dari daerah keratin jogya, sedangkan
aku dari minangkabau. Tidak hanya keyakinan saja yang berwarna, kebuadayaan
yang kami milikipun berlainan.
Sederhana memang, perbincangan dimuali dari
pertanyaan tentang budaya di daerah masing- masing, terkadang kami terlibat
diskusi kecil sebagai komentator acara televisi, tentang tetangga-tetangga dan
banyak lainya yang kutanya kepada mereka seputar desa dan kampung baru ku ini.
lagakku seperti wartawan yang tengah investigasi saja, bertanya tentang ini dan
itu kepada keduanya. Disitulah berawal keakraban kami, ternyata pak Murtaya
adalah seorang yang memiliki hobi
sewarna dengan ku, sehingga dengan semangat dan antusias bapak dan ibu menjawab
pertanyaan- pertanyaanku yang mendarat kepada nya, sampai sampai perbincangan
kami merembes kepada memperbincangakan agama masing- masing.
Seperti halnya diskusi dalam sebuah kelas kaum
intelektual saja pak Murtoyo bertanya tentang islam kepadaku, meneggarai rasa
ingin tahunya tentang islam dan keingintauanku tentang keberagamaan mereka
membuat kami menghabiskan waktu hampir dua jam dalam dialog itu. jangan
membayangkan dialog ini sebagai tawar menawar keyakinan, bagiku dan yang ku
jalani hanyalah sebatas diskusi lepas tentang bagaimana aku dan mereka. Kenapa katolik begini dan kenapa Muslim itu
begitu. Benar benar hanyalah sebuah diskusi yang lebih mengarah kepada
meluruskan pandangan orang tentang keyakinan masing masing. Dalam diskusi kami
yang berapi api itu, Pak Murtoyo tentu memiliki pandangan sendiri tentang
Muslim, dan sebaliknya, akupun meiliki padangan yang subjektif tentang agama
katolik.
Detik demi detik berputar sampai tak terasa olehku,
mendengar cerita pak Muroyo dalam diskusi malam itu, menyadarkan ku betapa
indonesai itu damai. Keberadaanku tinggal dirumah mereka yang katolik disambut
dengan baik tak sdikitpun berbeda dengan yang lain, begitu pula rasa hormatku
kepada mereka, keyakinan mereka tak mengurungkan niat ini untuk menghargai
merek sebagaimana orang tua sendiri. aku
tersentak perbedaan tak akan menjadi pemisah selama kita ttap terfokus kepada persamaan
yang juga membentan luas di bumi pertiwi Indonesia, layaknya kebersamaan ku
yang tetap damai di rumah Pak Murtoyo.