Rabu, 26 Juni 2013

kartini dari pelosok negeri






“Siang berganti malam dan malam bersambung dengan siang, aku tak henti hentinya nandur ndok, balik nandur dari satu sawah kesawah orang lain ku lakukan, semua itu demi anak ku mas Ribut. Anak kedua ku yang sangat ingin sekolah dan memang ia anak yang berprestasi di sekolah nya”. 
“Nasibnya berbeda dengan kakaknya, uang dan simpanan mamak habis untuk memenuhi biaya pendidikan untuk memasuki kepolisian, tetapi apa dikata nasib berkata lain usaha keras ia untuk lulus ke kepolisian saat itu harus mundur karena tak ada biaya. meskipun demikian untuk membiayai ia mengkuti tes kepolisian dan lainya mamak sudah menjual segala harta benda keluarga kami yang juga tidak banyak, kebun karet dan sawah kami jual demi memenuhi cita cita putra pertama ku dan selebihnya aku hanya mengandalakan nama baik ini untuk meminjam ketetangga sebelah rumah, berlandaskan nama baik semata aku mencoba berkeliling kampung bekerja sepanjang hari semasa aku sehat dulu.  kami sudah tidak memiliki apa-apa dan sekolah untuk anak-anaku adalah harta yang menjadi harapan ku dan suami”.
Begitulah penuturan Mak Uki, wanita paruh baya itu menceritakan kepedihan dan segala ujian hidup yang ia lakoni semasa menyekolahkan anak anaknya. Berita akan prestasi anaknya yang mendulang juara di sekolah dan saat itu diterima disekolah favorite Palembang, membuat Mak Uki begitu gembira, tak tega ia patahkan kemauan anaknya untuk terus bersekolah hanya karena tidak punya uang. Bagi Mak Uki uang bisa dicari, tapi pendidikan anaknya adalah utama. Kami bukan keluarga kaya, dan memiliki 4 orang anak. untuk menyekolahkan mereka Mak Uki berusaha sekuat tenaga membanting tulang di kebun orang. Setiap hari ia berangkat menuju kebun.
Jam 6 pagi dan kembali jam 8 malam, begitu setiap hari. “Rasanya otak ku benar benar berputar ndok,,mencarikan uang tiga ratus ribu rupiah setiap minggunya buat anak ku sekolah, lawong aku cuma buruh tani ,nggak punya apa-apa,  letih dan segala usaha harus ku lakukan demi sekolah putra ku itu”. Mak Uki seperti kembali kemasa masa itu, saat mengenang derita dan perjuangannya ketika menyekolahkan anak-anaknya. Uang itu ia pinjam dari tetangga sekitar rumah, sementara untuk menggantinya dibayar dengan bekerja tanpa digaji lagi di kebun tetangga tersebut. Bertahun-tahun Mak Uki berlumuran utang berpindah dari satu kebun ke kebun lain sepanjang hari, dari pagi sampai malam.  Alhasil putra tersayang akhirnya menyelesaikan sekolah di SLTA.
***
Masa depan yang tertunda
Hari itu adalah hari kelulusan Ribut di UNILA, universitas favorite di Lampung, bagi siswa SLTA sekitar lampung dan Palembang,  masuk dan mendapatkan bangku di UNILA adalah satu kebanggaan, karena  harus mampu mengalahkan ratusan bahkan ribuan pesaing.
Dan Ribut putra kedua Mak Uki, membuktikan kemampuan nya itu. kabar gembira itu pula ikut dirayakan teman teman mas Ribut, mereka datang dan memberikan selamat kepada sahabat mereka yang beruntung saat itu. Malangnya kabar itu ibarat petir disiang hari bagi Mak Uki, ia tak tau harus bagaimana menghadapi kegembiraan putra kesayangan, mas Ribut.
Kembali ia kepalkan tangan dan kekuatan dirinya, hatinya bergetar memikirkan uang masuk mas Ribut ke UNILA, tak ada lagi yang bisa digadaikan, semua terjual dan telah habis untuk membiayai anak pertamanya dulu, satu satu harapan adalah janji mas Wawan, putra pertama Mak Uki yang berjanji akan membiayai pendidikan adiknya sebagai ganti dari pengorbannan ibunda yang telah habis habisan untuknya.
Malangnya, saat ini putra pertama Mak Uki dalam keadaan yang sulit, ia tak sanggup membiayai adiknya memasuki UNILA. Semua harapan Mak Uki hancur berkeping,tak ada kata kata lagi yang mampu ia ucapkan, semua badan nya terasa lemas, Mak Uki akhirnya jatuh sakit, berita gembira itu berganti kabar duka, keadaan Mak Uki drop dan mas Ribut pun harus ikhlas menerima realita untuk tidak melanjutkan kuliah.
Mimpi terkadang memang tak seindah kenyataan, berapa bulan setelah itu Mak Uki kembali sembuh, ia tak tega melihat anaknya yang stress menerima kenyataan itu. Akhirnya Mak Uki mengusahakan anaknya untuk masuk kesalah satu program pelatihan computer selama satu tahun. Ia berharap walaupun batal menyandang gelar s1, pendidikan ini akan tetap bisa menjadi bekal bagi anaknya memasuki lapangan kerja nantinya.
Begitu majunya pemikiran wanita ini, berbekal pendidikan ditingkat SD dan hidup di pedalaman ternyata tidak menghambat pandangan nya terhadap dunia luar. Aku hanya bisa menatap Mak Uki dengan tatapan kekaguman. Cinta nya sebagai seorang ibu dan kekuatan hatinya menjalani semua kesulitan keluarga serta perjuangan nya memperjuangkan cita cita anak-anaknya membuatku berdecak kagum, luar biasa.
Cerita memang tak hanya berhenti disitu saja, pernah satu hari Mak Uki pingsan di tengah ladang yang luasnya 1 hektar, milik seorang petani makmur di desa itu dan Mak Uki bekerja seharian disana untuk menyirami tanah perkebunan nan luas itu dengan racun hama. Tiba tiba saja badan dan kepalanya terasa begitu berat, Mak Uki tergelepar keracunan di tengah luasnya kebun tersebut. Beruntung kejadian itu di ketahui oleh orang yang kebetulan tengah bekerja di ladang. Mak Uki di larikan kerumah sakit, ia dinyatakan keracunan. Barangkali menyemproti hama tanaman yang begitu luas membuat Mak Uki menghirup zat mematikan itu terlalu banyak, akibatnya ia pingsan, beruntung sekali nyawa Mak Uki masih tertolong. Lagi lagi aku berdecak kagum, hebat.
Waktu berjalan, putra kedua Mak Uki akhirnya menyelesaikan perkuliahan nya, keinginan putranya tersebut didukung penuh oleh Mak Uki dengan seluruh tenaga. Mas Ribut berhasil menyelesaikan wisudanya sebagai sarjana desain grafis. Melihat prestasi dan kesungguhan nya, akhirnya mas Ribut di biayai oleh sebuah perusahaan konsultan, untuk melanjutkan study untuk kemudian bekerja kembali di perusahaan tersebut. Pejuangan pahit Mak Uki yang kerap kali bermain dengan maut berganti sumbringah senyum dan kepuasan melihat anak kesayangan nya itu mengenakan toga kebesaran.
Perjalanan hidup Mak Uki, benar benar membuatku terkesima, ternyata keterbatasan dan kesulitan bahkan tidak adanya harta benda, dan biaya tak menghentikan langkahnya memperjuangkan pendidikan anak-anaknya.  Bagi ku Mak Uki, seperti kartini dari Serdang Kuring. Wanita yang tak bisa diam dengan keterbatasan, dan mencoba mendongkak kesombongan dunia dengan perjuanganya.
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar