“Siang
berganti malam dan malam bersambung dengan siang, aku tak henti hentinya nandur
ndok, balik nandur dari satu sawah kesawah orang lain ku lakukan, semua itu
demi anak ku mas Ribut. Anak kedua ku yang sangat ingin sekolah dan memang ia
anak yang berprestasi di sekolah nya”.
“Nasibnya
berbeda dengan kakaknya, uang dan simpanan mamak habis untuk memenuhi biaya
pendidikan untuk memasuki kepolisian, tetapi apa dikata nasib berkata lain
usaha keras ia untuk lulus ke kepolisian saat itu harus mundur karena tak ada
biaya. meskipun demikian untuk membiayai ia mengkuti tes kepolisian dan lainya
mamak sudah menjual segala harta benda keluarga kami yang juga tidak banyak,
kebun karet dan sawah kami jual demi memenuhi cita cita putra pertama ku dan
selebihnya aku hanya mengandalakan nama baik ini untuk meminjam ketetangga
sebelah rumah, berlandaskan nama baik semata aku mencoba berkeliling kampung
bekerja sepanjang hari semasa aku sehat dulu. kami sudah tidak memiliki apa-apa dan sekolah
untuk anak-anaku adalah harta yang menjadi harapan ku dan suami”.
Begitulah penuturan Mak Uki, wanita
paruh baya itu menceritakan kepedihan dan segala ujian hidup yang ia lakoni
semasa menyekolahkan anak anaknya. Berita akan prestasi anaknya yang mendulang
juara di sekolah dan saat itu diterima disekolah favorite Palembang, membuat Mak
Uki begitu gembira, tak tega ia patahkan kemauan anaknya untuk terus bersekolah
hanya karena tidak punya uang. Bagi Mak Uki uang bisa dicari, tapi pendidikan
anaknya adalah utama. Kami bukan keluarga kaya, dan memiliki 4 orang anak.
untuk menyekolahkan mereka Mak Uki berusaha sekuat tenaga membanting tulang di
kebun orang. Setiap hari ia berangkat menuju kebun.
Jam 6 pagi dan kembali jam 8 malam, begitu
setiap hari. “Rasanya otak ku benar benar
berputar ndok,,mencarikan uang tiga ratus ribu rupiah setiap minggunya buat
anak ku sekolah, lawong aku cuma buruh tani ,nggak punya apa-apa, letih dan segala usaha harus ku lakukan demi
sekolah putra ku itu”. Mak Uki seperti kembali kemasa masa itu, saat
mengenang derita dan perjuangannya ketika menyekolahkan anak-anaknya. Uang itu
ia pinjam dari tetangga sekitar rumah, sementara untuk menggantinya dibayar
dengan bekerja tanpa digaji lagi di kebun tetangga tersebut. Bertahun-tahun Mak
Uki berlumuran utang berpindah dari satu kebun ke kebun lain sepanjang hari,
dari pagi sampai malam. Alhasil putra
tersayang akhirnya menyelesaikan sekolah di SLTA.
***
Masa depan yang
tertunda
Hari itu adalah hari kelulusan Ribut di
UNILA, universitas favorite di Lampung, bagi siswa SLTA sekitar lampung dan
Palembang, masuk dan mendapatkan bangku
di UNILA adalah satu kebanggaan, karena harus mampu mengalahkan ratusan bahkan ribuan
pesaing.
Dan Ribut putra kedua Mak Uki, membuktikan
kemampuan nya itu. kabar gembira itu pula ikut dirayakan teman teman mas Ribut,
mereka datang dan memberikan selamat kepada sahabat mereka yang beruntung saat
itu. Malangnya kabar itu ibarat petir disiang hari bagi Mak Uki, ia tak tau
harus bagaimana menghadapi kegembiraan putra kesayangan, mas Ribut.
Kembali ia kepalkan tangan dan kekuatan dirinya,
hatinya bergetar memikirkan uang masuk mas Ribut ke UNILA, tak ada lagi yang
bisa digadaikan, semua terjual dan telah habis untuk membiayai anak pertamanya
dulu, satu satu harapan adalah janji mas Wawan, putra pertama Mak Uki yang
berjanji akan membiayai pendidikan adiknya sebagai ganti dari pengorbannan
ibunda yang telah habis habisan untuknya.
Malangnya, saat ini putra pertama Mak
Uki dalam keadaan yang sulit, ia tak sanggup membiayai adiknya memasuki UNILA.
Semua harapan Mak Uki hancur berkeping,tak ada kata kata lagi yang mampu ia
ucapkan, semua badan nya terasa lemas, Mak Uki akhirnya jatuh sakit, berita
gembira itu berganti kabar duka, keadaan Mak Uki drop dan mas Ribut pun harus
ikhlas menerima realita untuk tidak melanjutkan kuliah.
Mimpi terkadang memang tak seindah
kenyataan, berapa bulan setelah itu Mak Uki kembali sembuh, ia tak tega melihat
anaknya yang stress menerima kenyataan itu. Akhirnya Mak Uki mengusahakan
anaknya untuk masuk kesalah satu program pelatihan computer selama satu tahun.
Ia berharap walaupun batal menyandang gelar s1, pendidikan ini akan tetap bisa
menjadi bekal bagi anaknya memasuki lapangan kerja nantinya.
Begitu majunya pemikiran wanita ini, berbekal pendidikan
ditingkat SD dan hidup di pedalaman ternyata tidak menghambat pandangan nya
terhadap dunia luar. Aku hanya bisa menatap Mak Uki dengan tatapan kekaguman. Cinta
nya sebagai seorang ibu dan kekuatan hatinya menjalani semua kesulitan keluarga
serta perjuangan nya memperjuangkan cita cita anak-anaknya membuatku berdecak
kagum, luar biasa.
Cerita memang tak hanya berhenti disitu saja, pernah
satu hari Mak Uki pingsan di tengah ladang yang luasnya 1 hektar, milik seorang
petani makmur di desa itu dan Mak Uki bekerja seharian disana untuk menyirami
tanah perkebunan nan luas itu dengan racun hama. Tiba tiba saja badan dan
kepalanya terasa begitu berat, Mak Uki tergelepar keracunan di tengah luasnya
kebun tersebut. Beruntung kejadian itu di ketahui oleh orang yang kebetulan
tengah bekerja di ladang. Mak Uki di larikan kerumah sakit, ia dinyatakan
keracunan. Barangkali menyemproti hama tanaman yang begitu luas membuat Mak Uki
menghirup zat mematikan itu terlalu banyak, akibatnya ia pingsan, beruntung
sekali nyawa Mak Uki masih tertolong. Lagi lagi aku berdecak kagum, hebat.
Waktu berjalan, putra kedua Mak Uki akhirnya
menyelesaikan perkuliahan nya, keinginan putranya tersebut didukung penuh oleh Mak
Uki dengan seluruh tenaga. Mas Ribut berhasil menyelesaikan wisudanya sebagai
sarjana desain grafis. Melihat prestasi dan kesungguhan nya, akhirnya mas Ribut
di biayai oleh sebuah perusahaan konsultan, untuk melanjutkan study untuk
kemudian bekerja kembali di perusahaan tersebut. Pejuangan pahit Mak Uki yang
kerap kali bermain dengan maut berganti sumbringah senyum dan kepuasan melihat
anak kesayangan nya itu mengenakan toga kebesaran.
Perjalanan hidup Mak Uki, benar benar membuatku
terkesima, ternyata keterbatasan dan kesulitan bahkan tidak adanya harta benda,
dan biaya tak menghentikan langkahnya memperjuangkan pendidikan
anak-anaknya. Bagi ku Mak Uki, seperti
kartini dari Serdang Kuring. Wanita yang tak bisa diam dengan keterbatasan, dan
mencoba mendongkak kesombongan dunia dengan perjuanganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar